Bab 07

0 0 0
                                    


"Sihirnya tak terkendali, karena dia mati." Zen bergumam sembari berjongkok dan menyentuh dahi Raiki dengan telapak tangan kanannya.

"Kembalilah," ucap Zen seraya memejamkan kedua matanya.

Dalam sekejap mata, dahi Raiki mengeluarkan sinar kehijauan. Tubuh bocah itu perlahan kembali ke keadaan normal sebelum hangus terbakar. Jantung serta organ tubuh lainnya pun perlahan kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

"Bangunlah," ujar Zen sembari menepuk pelan pipi Raiki.

Raiki perlahan mengerjapkan mata. Napasnya terengah. Potongan adegan mengerikan beberapa waktu lalu, kembali berputar di benaknya. Raiki mengingat jelas, dirinya tersambar petir yang begitu dahsyat. Kala mengingat hal itu, tubuhnya gemetar dan beberapa detik berikutnya, ia menangis kencang sembari menutup wajahnya.

Zen menghela napas lelah kala melihatnya. Biar bagaimanapun, Raiki masihlah seorang bocah. Wajar jika dia menangis ketakutan seperti itu setelah mengalami kematian yang begitu mengerikan.

"Berhenti menangis atau saya tinggal di sini?"

Masih dengan sesenggukan, akhirnya Raiki berhenti menangis dan berusaha mendudukan dirinya. Ia menatap sang guru dengan wajah memerah. Detik berikutnya, bocah itu memeluk Zen sembari menangis kencang. 

"Sen ... Sensei, Kak Emi terlalu berlebihan. Itu ... Itu terlalu mengerikan," ujar Raiki di sela isak tangisnya.

Lagi-lagi Zen hanya bisa menghela napas lelah sembari mendudukan dirinya di permukaan tanah. Sebelah tangannya terangkat dan menepuk pelan punggung Raiki.

"Kau sudah besar. Mengapa kau masih menangis seperti ini? Setelah menjadi Dragon Slayer, kau akan lebih banyak mengalami kengerian yang lebih parah lagi daripada ini. Biasakanlah dirimu untuk berbaur dengan hal-hal yang mengerikan." Zen berujar dengan nada datar dan bermaksud untuk menenangkan bocah yang sedang menangis di pelukannya ini. Namun, Raiki semakin menangis kencang dan sesenggukan.

Dari kejauhan, Nakamura Kaori tersenyum samar kala melihat Zen bersikap peduli pada bocah yang sedang menangis itu. Selama mengenal Zen, Kaori belum pernah melihatnya seperti itu.

***

Karena Raiki tidak berhenti menangis, Zen terpaksa menggendong bocah itu layaknya bayi dan mengantarkannya ke asrama. Tampaknya Raiki benar-benar shock dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Sesampainya di asrama, bocah itu bahkan sudah terlelap di dalam dekap sang guru. Untuk kesekian kalinya, Zen hanya bisa menghela napas lelah.

Entah mengapa ia tidak bisa marah, apalagi melepas Raiki begitu saja. Bocah ini terlalu berbakat dan kuat untuk ia lepaskan. Zen sudah bertekad akan mengajari murid-muridnya agar bisa mengendalikan kekuatan dengan tepat.

Setelah membaringkan tubuh si kecil ke ranjang tidur, Zen pun lantas kembali ke akademi untuk melihat keadaan Emi yang tampaknya juga terluka parah setelah terkena racun yang diciptakan oleh Raiki.

Untungnya, setelah ia tiba di ruang kesehatan akademi, keadaan Emi sudah kembali normal tanpa adanya luka. Ternyata Saito dan Sayaka yang menyembuhkan gadis itu. Zen merasa lega karena murid-muridnya dapat diandalkan tanpa harus ia perintah.

"Sensei, bagaimana keadaan Raiki? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Sayaka dengan wajah cemasnya.

"Dia bahkan sempat tewas. Serangan Emi benar-benar mematikan," jawab Zen sembari melipat kedua tangan di bawah dadanya.

Emi yang masih terbaring lemas di ranjang ruang kesehatan, hanya bisa tersenyum canggung kala mendengar perkataan sang guru. Sungguh, jika dia tidak cepat bertindak, maka dirinya yang bisa saja tewas di tangan bocah kecil itu.

"Saya juga nyaris tewas, Sensei," sahut Emi pelan.

Silvy dan Sera terkekeh mendengarnya. "Ya. Terlambat satu detik saja, maka kau juga akan tewas," ujar Silvy sembari menepuk pelan pundak Emi.

Gadis itu diam-diam menyesal karena telah memperbolehkan mereka menggunakan sihir mematikan. Namun, Silvy mengakui, ia benar-benar menikmati pertarungan tadi. Sungguh luar biasa. Baru kali ini ia melihat Emi tersudutkan oleh seorang bocah.

"Sekarang di mana dia, Sensei?" tanya Sera sembari menatap sang guru yang tampak lelah.

"Istirahat di asrama. Dia masih trauma," jawab Zen apa adanya.

Endo dan Saito yang duduk di sudut ruang kesehatan hanya mendengarkan percakapan mereka. Jujur, Saito masih memikirkan kengerian yang baru saja ia saksikan. Ia tak menyangka, gadis manis seperti Emi mempunyai sihir sedahsyat itu.

"Apa semua Dragon Slayer sekuat itu?" gumam Saito pelan. Namun, Endo mendengarnya.

"Bahkan ada yang lebih hebat dari itu dan juga, kurasa Emi tidak mengeluarkan 10% dari kekuatannya. Dia pasti lebih kuat dan hebat dari pertandingan tadi," sahut Endo panjang lebar.

Saito mengangguk singkat menanggapinya. Matanya terus tertuju pada sosok Emi di ranjang sana. Saito merasa lega, karena bisa menyembuhkan Emi dari racun mematikan. Ia bahkan kelelahan karena sudah menggunakan seperempat dari energi sihirnya untuk menyembuhkan gadis itu. Saito mengepalkan kedua tangannya yang terasa kebas. Sungguh, saat ini ia ingin kembali ke asrama dan tidur di sana.

***

Latih tanding pun tetap dilanjutkan. Zen menyerahkan pengawasan kepada Silvy. Beliau juga berpesan kepada Silvy, agar mereka tidak terlalu berlebihan dalam latihan. Zen sengaja memberikan tugas tersebut kepada Silvy, karena dia sendiri baru saja mendapatkan panggilan dari orang utusan raja untuk segera datang kekaisaran.

Zen pergi ke istana agung kekaisaran bersama Kaori menggunakan kereta kuda. Jarak akademi dan kekaisaran cukup jauh, hingga membutuhkan setengah hari perjalanan untuk sampai ke sana.

"Apa kau tahu alasan raja memanggil kita?" tanya Zen kepada Kaori, sembari menoleh ke sampingnya.

Namun, Kaori tidak menjawabnya. Zen mendapati wanita itu sedang terlelap dengan kepala bersandar di pinggiran jendela. Zen tersenyum tipis kala melihatnya. Perlahan, ia pun memindahkan kepala Kaori agar bersandar di bahunya.

"Apa yang kau lakukan hari ini? Kau tampak sangat lelah," gumam Zen dengan suara pelannya.

Detik berikutnya, Zen dibuat terkejut kala Kaori tiba-tiba memeluk erat lengannya.Tak hanya itu, Kaori bahkan menyandarkan kepala di dadanya. Zen tak tahu harus bereaksi seperti apa. Wajah pria itu bahkan memerah sampai ke telinga. Sungguh, Zen menyukai wanita ini. Namun, ia harus menakan perasaan sendiri, karena tidak mungkin untuknya hidup bahagia bersama Kaori.

Di tengah suasana canggung ini, kereta kuda tiba-tiba berhenti, hingga membuat Kaori terbangun dari tidurnya. Wanita itu sangat terkejut karena berada dalam posisi ini. Wajah Kaori bahkan memerah kala menyadari dirinya memeluk erat lengan pria di sampingnya. Segera ia melepaskan dan menarik diri dari dada empuk Zen.

Wanita berdehem kecil sebelum bersuara. "Apa yang terjadi?" tanya Kaori pada kusir di depan sana.

"Nona Kaori, Tuan Zen. Tampaknya kita berada dalam masalah. Di depan sana ada beberapa orang berjubah hitam sedang mengarahkan anak panahnya ke arah kita," jelas sang kusir dengan suara gemetar.

Zen pun membuka tirai yang memisahkan kusir dan penumpang. Matanya menatap awas ke beberapa orang yang sedang bersiaga mengarahkan anak panah. Zen menghela napas singka. Ia mengenali bentuk jubah itu.

"Zen, bukankah mereka dari organisasi si*lan itu?" tanya Kaori. Zen hanya berdehem pelan sebagai tangganya.

"Tuan, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya sang kusir dengan panik. Dia bahkan berbalik dari kursi kemudi dan memasuki kereta.

"Kaori, tetaplah di sini. Aku akan coba mengatasi mereka." Zen berujar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Pria itu lantas turun dari kereta dan melangkah ke depan kuda.

Manusia-manusia yang menggunakan jubah hitam dengan bross berlambang bintang itu berjumlah lebih dari 50 orang. Selain itu, Zen juga merasakan ada satu orang yang memiliki energi sihir bertekanan tinggi. Ini adalah kali kesekian Organisasi Hunter Magic mengincar dirinya. Zen hampir bosan karena menghadapi mereka. Namun, kali ini dia cukup waspada setelah merasakan energi sihir mengerikan yang terpancar dari salah satu anggota organisasi itu.

"Tampaknya, kali ini akan lebih menarik daripada hari-hari sebelumnya," gumam Zen dengan seringaian jahat di wajahnya.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now