DIMENSION OF DEATH

13 2 0
                                    

3

Seperti tengah terpukul benda tumpul berkali-kali, sosok wanita yang sekarang hidup sendirian baik di rumah maupun di tempat kerja. Dia adalah Denada, wanita berambut panjang sebagai tempat curhatan hati adik angkatnya ketika masih ada di sisinya.

Melintasi beberapa kali ruang UGD seraya menoleh kembali dari balik pintu, keadaan yang terbujur kaku bersama dengan pendeteksi denyut jantung yang semakin hari semakin melemah.

Tepat satu minggu kehilangan canda tawa dari adik angkat, ia pun mencoba untuk masuk ke dalam ruangan yang siapa pun tak boleh menemui tubuh kaku tersebut.

Seseorang menyentuh pundak gadis berambut panjang dengan kacamata bulat. "Dena, kamu mau apa di ruangan ini?"

Karena sedang ada yang memergoki aksinya itu, ia pun memutar badan ke belakang. "Dok! Gimana keadaan Adik saya?" tanyanya serius sambil membawa beaker glass di tangan kanan.

Lawan bicara menarik napas panjang beberapa kali, ia pun menyentuh pundak dari Denada. "Keadaan Adik kamu, semakin hari semakin memprihatinkan. Apalagi ia sepertinya susah untuk bernapas meski sudah dibantu dengan alat tercanggih di rumah sakit kita."

Ia jeda ucapan sejenak. "Dena, kamu yang sabar. Doa, 'kan yang terbaik untuk kesembuhan Reka. Hanya sebuah keajaibanlah yang bisa membuatnya kembali sembuh, untuk bisa hidup kembali sepertinya ...."

"Sepertinya apa, Dok? Beri tahu saya," sosor gadis bermata kecokelatan seraya mencengkeram kedua kerah baju lawan bicaranya.

Menarik napas panjang, untuk menetralisirkan emosi saat ini. "Sepertinya ia akan kehilangan nyawanya untuk selama-lamanya."

"Enggak!" hardik Denada sangat serius, kemudian. "Jangan berkata kalau Adik saya akan mati, dia akan hidup bersama saya! Katakan itu, dok!" bentaknya lagi.

"Denada! Semua sudah ketetapan Tuhan. Kita enggak bisa berbuat apa-apa lagi sebagai manusia selain mendoakan yang terbaik, mungkin malaikat malam ini akan memberikan mukjizat kepadanya."

Sontak gadis itu menangis histeris, ia pun menoleh ke arah tubuh kaku yang sudah enggak berdaya di atas kasur berwarna putih, lengkap dengan selimut hijau muda.

Dua langkah berjalan menuju tubuh tersebut, sementara para dokter yang sedang memadati lokasi ruang gawat darurat melepas masker mereka dan menatap lirih gadis yang merupakan rekan kerja mereka di rumah sakit.

Denada yang kala itu duduk di samping tubuh—Reka, menatap dengan air mata yang mengalir deras.

"Reka ... lu enggak boleh mati, Dik. Gue enggak bisa hidup tanpa lu di dunia ini." Gadis berambut panjang itu mencium tangan adiknya yang sudah pucat seperti tak berdarah lagi.

Suasana semakin dramatis, kendatipun peristiwa itu akan terjadi. Yaitu maut sebagai pemisah dua wanita yang hidup sebatang kara sejak kecil, memiliki latar belakang yang sama. Kehilangan kedua orang tua di usia tujuh hari selepas kelahiran.

Tuhan saat itu seperti tengah mempermainkan kehidupan mereka, #bertemu dalam ruang kehidupan yang kelam. Hingga akhirnya berpisah dengan cara sangat tragis.

Perawat yang kala itu berjalan menemui gadis yang sedang terisak tangis, menyentuh lembut rambut panjangnya. Lalu, ia berujar. "Den ... jangan ratapi semua yang telah menjadi ketetapan Tuhan, ia punya rencana besar dibalik dari peristiwa saat ini."

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now