MID NIGHT RAVEN

5 1 0
                                    

1

Berjalan berdua dengan adik angkatnya yang paling ia sayangi. Ya, dia bernama—Reka. Mereka berdua mengendarai taksi dan masuk ke dalam sebuah cafe. Di mana, lokasi itu adalah tempat yang sudah disepakati oleh Denada dan pacarnya.

Sampailah mereka di bangku paling depan, menu makanan tersedia di atas meja. Jordan dan Dena duduk bersebelahan seraya bercanda romantis. Reka yang sedang ada di depan mereka pun, tak kuat menahan rasa iri itu.

Lalu, ia membatin. 'Kapan, ya, gue bisa seperti mereka. Memadu kasih setelah tiga tahun berpacaran tanpa pisah. Kalau saja gue bisa bersama—Reff, mungkin semua akan indah. Ah, enggak-enggak. Pemuda itu, 'kan, bukan bangsa manusia.'

"Rek ...."

Cewek berambut pendek yang sedang melamun itu pun terdiam, ia tak menghiraukan siapa pun. Karena satu panggilan gagal, akhirnya Dena melambaikan tangannya lagi.

"Reka ...."

Seketika pemilik nama membuyarkan lamunan, seraya menatap dengan ekspresi bodoh ke depan kakak angkatnya. Ia pun mendelik karena wajah Dena tepat berada di hadapannya.

"Lu melamun, Rek?" tanya sang kakak dengan nada suara datar.

"Hmmm ... enggak, kok. Gue cuma lagi mikirin Reff aja." Seketika Reka menutup mulutnya yang sudah keceplosan mengatakan nama pemuda bersayap putih itu.

Dena pun berpikir keras, ia merumuskan pernyataan aneh yang tengah Reka katakan. Selama ini, adik angkatnya itu tak pernah mencintai pemuda lain setelah sebelumnya putus dengan pemuda bernama—Jack.

Lalu, Dena berucap. "Rek, siapa Reff?" tanyanya sangat serius, ia juga mengernyitkan kedua alis secara bersamaan.

Tak mampu untuk memberitahu, Reka membungkam dan menyodorkan daftar menu yang ia pegang. "Den! Kita pesan makanan, yuk. Gue lapar banget, deh."

"Hmmm ... kebiasaan lu, Rek. Kalau udah lapar enggak konsen kalau ngomong," ledek Dena meringis geli.

Beberapa makanan tengah mereka pesan, dengan menunggu kurang lebih sepuluh menit, hidangan mewah tersusun rapi di atas meja. Reka pun menatap ke samping kiri, ia melihat penampakan tak lazim di atas piring berwarna putih.

Ya, menu pilihan Denada adalah burung panggang. Seketika wanita dengan rambut pendek itu menatap greget. Ia merasakan mual setelah mendapati siluet pesanan aneh itu terhidang bersama sambal yang sangat merah.

"Rek! Lu kenapa?" tanya Denada.

Sementara dari sampingnya, Jordan menyodorkan tisu. "Nih, Rek. Lu kenapa?" tanyanya menyambar ucapan kekasihnya juga.

Reka pun berdiri dan meninggalkan meja makan, ia berlari menuju toilet cafe yang berada di belakang gedung.

3

"Den! Reka kenapa?" tanya Jordan sangat serius.

Sementara sang kekasih, hanya menaikkan pundak saja secara bersamaan. Ia pun membuang tatapan menuju kursi adik angkatnya yang telah berbuat sangat aneh. Selang beberapa menit, Reka tak juga kembali. Akhirnya, Dena pun beranjak dari kursinya dan berjalan menuju sebuah toilet.

Dari ujung koridor, ia melihat Reka yang sudah berubah wujud. Sayap putih tampak samar di belakang tubuh adik angkatnya itu, seketika ia membanting ponsel-nya dan menutup mulut dengan kedua tangan.

Dua menit tersadar dari hal aneh tengah ia dapati, Denada menoleh kanan dan kiri dengan ekspresi wajah bodoh. Dari ujung koridor, Jordan berteriak.

"Denada ...."

Tanpa balas kata, Dena pun membatin. 'Haduh ... Jordan sepertinya mengarah ke sini. Gue harus sembunyiin Reka secepatnya, kalau tidak, ia bisa menjadi bulan-bulanan pasang mata di sini.'

Sang kakak pun berlari menuju Reka yang masih menatap mantap cermin berbentuk lingkaran. Seketika wanita berbanda merah bernama—Reka pun terkejut.

"Den! Lu ngapain lari-lari gitu, seperti di kejar hantu aja."

Denada menutup mulut adik angkatnya. "Rek, kita masuk ke toilet sekarang."

"Emang kenapa, Den?" tanya Reka dengan ekspresi orang bodoh.

Tanpa membalas kata, Dena langsung menarik tangan adik angkatnya dan segera memasuki toilet. Mereka mengunci ruangan yang menjadi tempat persembunyian mereka berdua, sementara dari samping kiri, Reka menatap aneh perbuatan sang kakak.

Ia pun tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Beberapa menit di dalam ruang toilet, suara Jordan muncul tepat di depan toilet tersebut. Ia berteriak tanpa henti memanggil nama Denada.

Lalu, Reka berucap lirih. "Den, lu kenapa, sih. Aneh banget tau enggak. Oh, ya, Jordan ada di luar."

"Rek, lu diem dulu," pinta Dena lagi.

Setelah suara Jordan menghilang, Dena pun menatap penuh hati-hati ke arah wajah adik angkatnya.

"Rek, tadi gue lihat. Pundak lu mengeluarkan sayap."

Seketika gadis berbandana itu terdiam, lalu. "Apa! Gue bersayap, maksut lu gimana?" tanyanya seraya menyentuh bagian belakang tubuh yang kata sang kakak mengeluarkan sayap.

"Enggak ada, kok, Den," lanjutnya lagi.

"Sekarang udah hilang, tetapi tadi gue lihat pakai bola mata kepala gue sendiri."

Seketika Reka menadahkan kepala menuju lantai toilet, ia tampak sedih dan sangat terpukul akan pernyataan kakak angkatnya. Lalu, ia membatin. 'Jadi, selama ini yang orang lihat dari gue benar. Kalau gue bersayap seperti makhluk yang ada di film-film.'

Dari samping kiri, Denada menyentuh pundak adik angkatnya perlahan. "Rek, udah. Jangan dipikirin, apa pun yang terjadi, lu tetap adik gue. Rasa sayang itu enggak akan berubah sedikit pun."

"Den ... apa salah gue? Kenapa gue harus mengalami ini semua?" runtuk Reka dengan mengeluarkan air mata yang pecah di pundak kakak angkatnya.

"Ya udah, jangan dipikirin lagi. Sebaiknya kita kembali ke cafe, entar orang-orang pada curiga dengan kejadian ini."

Akhirnya, kedua wanita itu berjalan lagi menuju meja makan. Sementara Jordan, ia seperti tengah bingung dan sangat was-was. Kepergian kekasihnya secara tiba-tiba membuat geger satu ruangan cafe. Tatapan tajam tengah mengarah menuju pusat kedua orang yang dikabarkan sempat hilang sesaat.

Sesampainya di atas kursi, Jordan berucap. "Den, lu dari mana aja? Gue cemas banget ketika lu pergi gitu aja."

"Enggak, Dan. Gue sama Reka keluar sebentar, menemani dia membeli sesuatu." Dena pun menggantung ucapannya.

"Sesuatu? Apa itu, Sayang?"

"Mau tahu aja kehidupan wanita," sambar Reka seketika. Pemuda tampan itu pun meringis lucu mendengar pernyataan yang datang dari mulut wanita berbandana merah.

"Oh, ya, nih. Ponsel lu, tadi gue temukan di dekat toilet." Jordan menyodorkan ponsel Dena yang sempat terjatuh karena melihat sebuah keanehan malam itu.

"Thanks, Sayang," jawab Dena.

Selesai makan, mereka pun pulang ke rumah larut malam. Di sepanjang jalan, dua orang kakak beradik itu saling tukar tatap. Tak pernah habis untuk menafsirkan sebuah penglihatan yang begitu mengundang kontroversi, sementara Reka, ia tetap sama ketika awal memasuki mobil milik Jordan.

Hanya menatap tajam menuju luar jendela, dengan air mata yang keluar tanpa henti dari kedua bola mata. #Mungkin masih membayangkan kejadian itu.

CROWN FOR MY ANGELWhere stories live. Discover now