PART 33. MANEKEN ( 1 )

73 27 31
                                    

*33.

( A/n. Isi part ini kolaburasi dengan Vega Pratama)

🍁

"Ngeeekk!"

Deritan pintu gerbang yang terbuka setengah menguak pintu image akan hal-hal berbau magis. Entah benar atau hanya perasaan Aksita Pradnya saja, sepertinya separuh gerbang itu terbuka sendiri. Seolah tahu kehadiran mereka dan menyambutnya.

Madya membawa motor matic itu memasukinya. Akshita Pradnya menjamahi tiap dimensi dari segala sisi.

Bulan separuh yang timbul tenggelam berenang dalam gumpalan awan hitam, suara burung yang entah apa namanya.

Semuanya begitu aneh, seperti memasuki dunia lain.
Bagaimana tidak aneh? Jalanan senyap yang mereka lewati untuk sampai di sini, suara-suara lain yang seolah lenyap. Lindap.

Dengan kabut tipis yang melayang-layang rendah. Udara dingin yang mengalirkan angin giris. Terasa miris.

Di hadapan mereka sebuah plang terpampang dengan tulisan "Toko baju Parang".

Para pembeli yang seperti zombi. Dan pramuniaga yang seolah bergerak slow melayani. Hanya imajinasi? Hanya delusi? Atau murni keanehan ini?

Maneken yang berjajar rapi dengan baju-baju yang modis dan kekinian. Dengan mata yang seolah hidup dan mengawasi.

Ava dan Akshita Pradya saling lirik heran. Bukannya tadi pria misterius itu mengatakan akan membawa mereka ke rumah? Mengapa malah ke toko baju? Khusus batik Parang ya? Atau kebanyakan yang di jual batik Parang?

Mata mereka mengamati aneka baju batik yang random, untuk anak-anak, pria, dan wanita.

"Bukan khusus batik, Nya. Itu ada lingerie, slip dress, cardingan, hoodie, sweater dan turtleneck."

Ava benar, bahkan ada blazer, vest dan blouse. Dan banyak lagi.

"Ayo, masuk!"

Suara bariton Madya menyadarkan mereka. Tanpa permisi memapah Akshita Pradya memasuki lorong temaram di sebelah kiri toko baju.

Akshita menoleh saat sisiran angin dingin yang daritadi mengikutinya tiba-tiba hilang. Sosok Mirna dengan wajah rusak itu tidak mengikutinya. Hanya menatapnya khawatir. Memberi isyarat dengan lambaian agar kembali dan tidak masuk. Seperti ada dinding tak kasat mata yang memaksa Mirna untuk stuck di tempat. Di luar area toko sosok Mirna seperti terpaku di bumi. Berkali berusaha maju tapi seperti terguncang sesaat, oleng. Seperti terbentur sesuatu. Tapi tetap berusaha berdiri walau goyah.

Sisiran angin dingin yang menguar menerbarkan aroma kembang kanthil yang sempat mereka lihat tumbuh subur di halaman.

Ava mengelus-elus lengannya, merinding. Entah karena dingin atau karena latar dan altar yang mereka tapaki.

Ubin beku bermotif geometric dan berwarna abu-abu. Sisi yang kelabu. Seperti dimensi waktu yang menipu.

Dan ketika mereka menapaki sebuah pintu,

"Dok ... Dokter Sasmita?"

Celangap Ava tak percaya. Akshita Pradnya terperangah. Dia? Dokter Sasmita? Yang pernah membimbing mereka di stase Psikiatri? Stase yang telah mereka lewati sebelum stase Forensik. Bagaimana bisa bersama pria misterius ini?

Dan mengapa dimata Akshita Pradnya dr. Angela Sasmita, sp. Kj tampak aneh? Seperti ada dua. Atau mata Akshita yang rabun? Bukankah yang berkaca mata Ava? Bukan dirinya?

'Dunia sempit ya? Dramatis cara kalian ketemu suami saya."

Sebuah prolog yang menohok. Dan membuat mimpi Akshita teronggok. Tak elok rasanya jika menertawakan diri sendiri dalam situasi seperti ini.

🅳🅴🅰🆃🅷 🅰🅻🅱🆄🅼 ( 🅾🅽 🅷🅾🅻🅳 )Where stories live. Discover now