PART 1. KEMBANG KANTHIL

438 38 18
                                    

*1.

(A/n. Berdoalah sesuai dengan keyakinan masing-masing sebelum membaca, karena seluruh penampakan real dari narasumber yang mengalami)

🍁
🍁

Malam terseok-seok menjelajahi kepekatannya. Kabut tebal yang mengelimuti seolah menjadi selubung misteri yang menutupi.

Rumah tua etnis Belanda itu berdiri pongah. Seperti mencuat dari dasar bumi. Berdiri diantara kabut tebal. Atapnya seperti berusaha mengoyak kaki langit yang kelam.

Lampu-lampu taman tampak pasi.Temaram. Tak kuasa lepas dari rengkuhan tebalnya sang kabut.

"THAG! THAG! THAG ...!!"

Sepasang mata Zaheen terbelalak lebar. Suara itu lagi? Seperti benda yang di ketuk-ketuk di lantai.

"Kak ... Kak!"

Bocah berusia 6 tahun itu berlari ke arah ranjang kakaknya yang bersebelahan dengan ranjangnya. Mengguncang tubuh kakaknya yang tenggelam dalam selimut dan hanya terlihat kepalanya.

"Heem ..." Amira berguman malas. Zaheen berbisik panik.

"Suara itu lagi, Kak," bisiknya dengan ekspresi ngeri. Angin mengalir giris dari kisi-kisi jendela. Membawa aroma khas kembang kanthil yang tumbuh di halaman.

Lolong anjing di kejauhan menguar garing. Menggidikkan bulu roma. Menguak image akan hal-hal berbau magis.

"Itu Jenny, Za, yang turun untuk minum." jawab Amira malas, gadis kecil usia 8 tahun itu lebih erat merangkul Lefi boneka lebah yang di belikan papanya, Azzam.

"Bukan, Kak. Suara tongkat Jenny nggak gitu," bantah Zaheen. Memekik histeris saat tiba-tiba lampu padam. Di luar sana, di kejauhan suara sirine meraung-raung. Entah itu suara ambulance yang berburu tiap detik berharga demi nyawa pasien. Atau suara sirine polisi yang memburu penjahat.

"Listrik padam lagi, Kaak !" pekik Zaheen. Buru-buru menyusup-nyusup masuk selimut kakaknya. Amira membuka mata, gelap gulita. Dan ada bau anyir darah. Menyeruak masuk hidungnya. Hanya sepersekian detik. Lalu lebih mendominasi aroma kembang kanthil.

"Bu Sindu, Listrik padam. Tolong lampu untuk anak-anak!" Terdengar suara mama mereka, dan terdengar suara bu Sindu pembantu mereka mengiyakan.

Masih pekat menghitam, gelap gulita menyelimuti bentala.

"Maaa! Mamaa ...!" teriak Zaheen. Wina mengiyakan dari luar. Ia tahu putra bungsunya itu phobia gelap. Terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Zaheen berharap itu mama.

"Kakk!" cekat Zaheen tiba-tiba. Mencengkram bahu Amira dalam kegelapan.

"Apaa?" bisik Amira sambil meraba-raba tangan adiknya. Tapi ...
Tangan ini dingin, kurus. Amira coba raba-raba lagi, iya jemari ini kurus,dan lancip.

Napas Amira kembang-kempis, berusaha melafalkan apa saja yang ia bisa. Tegang. Tidak berani bergerak, saat tangan itu kian erat mencengkram.

"Kakk! Ada yang memegang belakang leherku! Dingin. Seperti di tempeli es batu!" cekat Zaheen tegang. Makin mengeratkan cengkramannya bahu kakaknya.

"Bukan, Za. Itu hanya perasaanmu saja.' bisik Amira, tak ingin membuat takut adiknya. Meski ia merasakan cengkraman tangan runcing itu kian membelenggunya.

"Ngeeekk ...!!"

Deritan pintu kamar mereka terdengar ganjil dan menyayat. Ada suara langkah-langkah kaki masuk.

"Maaa ...!!" teriak Zaheen, merasa tengkuknya kian dingin. Seperti di tekan dengan es batu.

Tak ada jawaban,
Glek!!
Mereka menelan ludah. Jika mama atau bu Sindu, pasti bawa lampu. Lalu ini siapa yang masuk?

🅳🅴🅰🆃🅷 🅰🅻🅱🆄🅼 ( 🅾🅽 🅷🅾🅻🅳 )Where stories live. Discover now