66.

439 54 31
                                    

___HAPPY READING ___
.
.
.
_____________

Ania sendiri, dia melamun menatap teman sekelasnya yang sedang berolahraga di tengah lapangan sana. Karena kondisi yang tidak memungkinkan, Ania hanya bisa melihat mereka dari tepi lapangan.

Materi pembelajaran olahraga kali ini basket. Satu kelas dipecah menjadi beberapa tim untuk memulainya permainan basket.

Sebenarnya pembelajaran ini sudah tidak asing lagi bagi mereka semua. Tetapi mengingat hari ujian tinggal menghitung beberapa hari lagi, membuat mereka dengan tekun mengikuti pembelajaran demi nilai sempurna.

Permainan basket dimulai, dua tim dari satu kelas saling berkerja sama untuk merebut dan mendribble bola agar masuk ke ring lawan. Tetapi jika dilihat, permainan kali ini cukup sengit karena Abi, Loka dan Alfin berbeda tim. Alfin sendiri memilih bergabung dengan tim yang bermain sebagai lawan Abi dan Loka.

Bukan Abi, Loka yang tidak membolehkan Alfin bergabung, melainkan cowok itu sendiri yang memilih menjadi musuh dari pada tim.

Mata Ania terus menatap permainan itu dengan cukup serius. Hatinya sedikit mendesah lesu saat Alfin mampu mencetak poin terlebih dahulu dari pada Abi dan Loka. Tetapi seketika perhatian Ania teralihkan saat seorang murid perempuan berdiri di depannya menutup semua pandangan Ania.

Ania mendongok.

"Dipanggil BK." ujar murid itu tanpa ekspresi apapun.

Ania menunduk mengerti, dengan cepat dia berdiri menghampit tongkat kruk pada kedua ketiaknya dan berniat berjalan menuju ruangan BK berada. Tetapi pergerakan Ania terhentikan saat murid perempuan itu kembali membuka suara.

"Mending beri pengakuan yang sebenarnya aja, dari pada terus-terusan bolak-balik BK seperti itu." ujarnya seolah memberi usul kepada Ania.

Ania terdiam sekejap. "Buat apa kasih pengakuan kebenaran? Bukannya kalian semua udah tau pengakuan yang Alfin ucapkan di kantin saat istirahat kedua?" tanya Ania balik sambil tersenyum miris dan kembali berjalan meninggalkan murid perempuan itu sendiri dengan tatapan mata yang menyiratkan kebingungan.

"Pengakuan dari kak Alfin? Di kantin? Istirahat kedua?" tanya murid itu pada dirinya sendiri. "Bukannya kak Alfin izin pulang ke rumah saat istirahat pertama?" sambungnya berlaga bingung, menatap punggung Ania yang kian mengecil.

Rasanya sakit. Benar-benar terasa sangat sakit jika kembali mengingat ucapan Alfin sore kemarin. Ania tidak mau dan tidak ingin lagi ucapan itu terdengar.

Semuanya terasa begitu gelap, saat seseorang yang dulu sangat menjaganya begitu baik bak berlian langka, ternyata selama ini memendam perasaan benci yang begitu dalam hingga meluap tanpa ingin diminta.

Ania akui, dia memang salah. Bahkan sangat bersalah. Tetapi pantaskah dia dibenci dengan segitu dalamnya hanya karena beralasan dendam?

Sungguh, saat ini Ania juga membenci pria itu dengan begitu dalam.

Ania menghentikan langkahnya sekejap. Memberi pengakuan tentang kebenciannya terhadap seseorang yang sangat ia cinta, membuat dadanya sesak kembali. Ania memejamkan matanya erat dan menghembuskan nafasnya berat sebelum kembali berjalan perlahan-lahan menuju ruangan BK dengan kepala yang menunduk.

Entah persoalan apa lagi yang akan dibahas oleh BK, Ania merasa hal yang benar-benar sangat tidak mengenakkan perasannya. Ia takut, bahkan rasa takut itu berhasil membuat keringat dingin keluar dari pelipis bahkan telapak tangan yang saat ini digunakan sebagai alat penyanggah tongkat besinya.

Namun saat ia berada tepat di depan pintu ruangan BK, sebisa mungkin Ania menyingkirkan segala persoalan yang benar-benar bersarang buruk di dalam pikirannya, dan mencoba untuk fokus ke hal yang lebih menyulitkan.

ANBELINWhere stories live. Discover now