16.

656 70 255
                                    

______________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
______________

Hamparan danau yang sangat luas menjadi pemandangan didepan mata gadis yang masih terisak.

Dia duduk bersebelahan dengan temannya, Bella. Sebenarnya bukan mau Ania ditemani Bella, melainkan gadis itu lah yang memaksa diri untuk menemaninya.

Ania melempar kerikil kecil kedalam danau, suasananya sangat nyaman untuk menenangkan diri. Padahal jam sekolah masih berjalan.

"An, udah jangan nangis terus." ucap Bella seraya menatap kearah Ania.

Ania menghapus air matanya kasar, pandanganya terus lurus ke depan. "Gue nggak tau salah gue apa sama mereka," ucapnya lirih.

"Lo emang nggak salah. Merekanya aja yang nggak ngertiin perasaan lo," jawab Bella.

"Gue harus apa Bell?" Tanyanya sambil menengok kearah Bella. "Semua orang di sekolah mandang gue rendah, seolah gue hanya beban yang harus hilang."

"An, ceritain apa pun itu sama gue. Jangan terus-terusan lo sembunyiin semuanya!"

"Lo mau dengerin curhatan gue?" Ania tertawa hambar. "Nggak akan kelar!"

"Seenggaknya kalau lo merasa terbebani. Lo bisa bagi beban lo ke gue." ucap Bella. "Gue siap dengerin apa pun itu!"

Ania tertawa lagi, dia memejamkan matanya kuat-kuat. "Papah gue nggak pernah anggap gue ada."

Bella langsung mendongok kearah Ania.

"Gue nggak pernah ngerasain kasih sayang seorang ayah."

"Kata orang cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Tapi gue nggak pernah merasakan itu."

Ania menengok kearah Bella. "Yang gue rasa hanya kekerasan."

Bella hanya diam, menyimak semua keluh kesah yang Ania lontarkan.

"Gue punya harapan, harapan gue sangat mudah. Tapi gue nggak akan pernah bisa nggapai harapan gue." ucap Ania dengan mata yang masih membendung air mata.

"Apa An? Apa gue bisa kasih harapan itu ke lo? Kalau gue bisa, gue akan kasih sekarang!"

Ania tertawa sambil menggeleng. Tangannya bergerak untuk menghapus setiap tetes air mata yang keluar. "Nggak, lo nggak bisa." jawab Ania.

"Nggak semua orang bisa ngasih harapan itu ke gue, kecuali..." Ania menjeda ucapannya, dadanya terasa sesak lagi. "Papah gue."

"Apa harapan lo? Sampai-sampai papah lo nggak bisa ngasih itu?" tanya Bella.

"Hadiah ulang tahun."

Bella melototkan matanya tidak percaya. "Sesimpel itu?"

Ania mengangguk. "Tapi gue nggak pernah dapet itu."

ANBELINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang