PART 32. BISIKAN GAIB

Start from the beginning
                                    

"Kamu mau lihat?"

Tantang mama seperti itu dengan tawa geli. Tawa yang terdengar ngeri. Dan seperti mimpi melihat orang yang melahirkannya itu bisa melangkah santai di tembok tanpa sandal. Seolah seperti cicak yang tidak bisa jatuh.

Mama tidak memiliki spatulae seperti cicak, hingga rambut-rambut halus di kakinya bisa nempel di dinding.

"Gak ah! Aku juga ikut."

Ucap Zaheen cepat. Segera ikut bersiap saat mobil yang di sewa om Arry sudah terdengar memasuki halaman.

Azzam tersenyum, susah payah di bantu bangkit anak-anaknya. Siap melakukan fisioterapi yang di lakukan oleh dokter specialis fisioterapis dan terapis.

"Kita juga akan terapi bicara dan bahasa, Mas. Terapi okupasi."

Ucap Adela saat mengambil walker, Arry yang pamit Wina. Adela tak berani. Wina tak kan sendirian di rumah, Bian akan segera pulang. Agar bisa mengawasi Wina.

"Kenapa kalian semua ikut? Betah dan tidak bosan di sana?"

Wina bertanya dengan senyum. Menatap anak-anaknya satu-satu.  Jatuh pada Jenny tatap matanya berkilat-kilat. Meski tak bisa melihat, tapi aura dingin nya menyisir Jenny. Jenny berusaha tersenyum dengan lantunan dzikir tiada akhir.

"Biar papa terhibur, Ma."

Jawabnya santun. Bagaimanapun mama, seperti apapun mama, baktinya tak boleh luntur, itu tutur ibu Innaya.

"Biarkan mereka ikut."

Ucap Azzam sambil berjalan di bantu walker. Dengan cara bicara yang belum jelas.

"Of course."

Tanggap Wina dengan senyum dan angkat bahu. Secara medis memang Azzam stroke, tapi Wina yang paling tahu suaminya itu kenapa.

Saat mereka memasuki mobil sewaan Arry, Bian muncul dengan motor sportnya. Wina tersenyum, mereka mengawasi Wina seperti seorang tawanan. kita lihat nanti.

.
.
***

Lidah petir di kaki langit berkilat - kilat membentuk akar cahaya. Gerimis tipis luruh satu-satu, tak begitu deras, namun cukup membasah.

Sosok tinggi atletis berjalan menembus legamnya malam yang menghitam. Hoodie hitam dengan tudung penuh menutup seluruh wajah nan beku. Sorot mata yang berkilat - kilat memerah, dengan seringaian liar saat mencium aroma anyir darah yang menguar.

Madya suka aroma segarnya, Madya suka harumnya yang memukau seperti kasturi syurgawi. Dari mana arahnya aroma menggiurkan ini?

Ooh...ternyata ada seseorang yang mengalami kecelakaan. Madya terkekeh lirih melihat dua orang tengah terserak di jalaan yang sepi. Madya tahu siapa salah satu dari mereka, sosok yang di ikuti Mirna.

Lampu- lampu kabut susu yang bercuatan kaku. Seperti beku dan luruh dalam legamnya bentala. Pohon-pohon berdiri pongah dengan dedaun yang gemerisik seolah berbisik.Purnama di atas sana timbul tertenggelam dalam kubangan awan hitam.

"Udah di bilangin aku aja yang nyetir!"

Omel Akshita Pradnya, KoAss di tempat Sasmita bekerja sambil susah payah bangun. Belum menyadari kehadiran Madya yang tak jauh dari mereka. Karena sibuk menyeringai dengan darah yang mengalir dari telapak tangannya. Darah yang membuat Madya menyeringai liar dan tatap mata nanar.

"Elo kalo bonceng nakutin, bisa lihat banyak hal yang bikin takut. Mending di boncengan merem."

Omel Ava, susah payah membuat maticnya agar bisa berdiri sempurna. Semoga saja tidak rusak.

"Lagian elo aneh, demit elo percaya, pake nyuruh ke alamat orang lagi. Emang kita kurir?"

Omel Ava,  entah syaiton dari anta beranta mana yang membisiki Akshita hingga nekad mencari alamat Orang bernama Bian atau Innaya. Emang syetan bisa tahu alamat orang? Seperti teleportasikah?

Ava memekik saat melihat luka robek di telapak tangan kiri Akshita pradnya. Untung kaca mata minusnya tetap nangkring manis hingga ia bisa melihat darah meski temaram.

Waduh! Di bersihin pake apa nih? Air mineral? Buru-buru Ava mencari botol air mineralnya yang entah terlempar kemana.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Sebuah suara bariton terdengar menyapa gendang telinga mereka.  Sambil menyodorkan sebotol air mineral yang baru ia pungut. Sontak kedua KoAss itu menoleh kaget. Terpukau melihat sosok Madya yang tinggi atletis, dengan hoodie hitam dan jeans belel. Tampak dingin, tapi sorot mata itu sarat akan kharisma. Dan wajah gantengnya bak pahatan sempurna maha karya sang pencipta.

"Eh..anu..itu, Mas. Teman saya berdarah."

Ava yang menjawab tergagap, setelah berhasil merangkai kosa kata dalam benak.

Diam,
Tercengang,
Saat sebuah jamahan tangan dingin menyentuh telapak tangan Akshita Pradnya. Menekan darahnya agar keluar. Akshita menyeringai. Madya mengguyur darahnya dengan air mineral.

Sebelum membalut luka itu dengan syal yang melingkari lehernya.

Akshita Pradnya berusaha bangkit, tapi kakinya terasa amat nyeri. Mungkin keseleo. Sebuah jamahan sepasang tangan kokoh membuat Aksita pasrah. Meski ia merasakan ada aura dingin yang aneh dari pria misterius yang menolong mereka ini.

Aneh, Akshita yang biasanya tidak mundah percaya apa lagi tergoda orang baru nyaman-nyaman saja dalam bopongan Madya. Sebagai anak KoAss ia menyadari bahwa pria misterius ini mengerti tata laksana vulnus laceratum. Mungkin robeknya jaringan halus di sebabkan oleh benturan keras dengan aspal tadi. Mungkin  membentur sesuatu.

Ava menurut saat Madya meminta Ava membuat matic berdiri dengan sempurna. Madya yang mengambil alih kemudi saat Akshita sudah di atas motor.

"Kita kemana? Trus gue gimana?"

Tanya Ava konyol. Lirih dan datar Madya menjawab.

"Rumah saya."

Hah? Rumah saya? Bukannya rumah sakit? Seperti kerbau yang di cocok hidungnya mereka menurut saat di bonceng bertiga.
Meski Ava masih bingung. Jangan- jangan ini modus operandi pencurian motor lalu mereka di perkosa bergantian di tempat sepi. Saat ia bisikkan itu pada Akshita malah di hus sambil di jitak kasar. Udah di tolongin bukannya terimakasih.

Tapi mengapa jalanan begitu sepi? Bahkan lampu-lampu jalanan yang temaram makin jarang. Ini daerah mana? Mereka orang baru di kita ini. Bagaimana jika orang ini berniat jahat?

"Mas, kok gak sampai-sampai ya?"

Ava bertanya, tanpa peduli di larang Akshita Pradnya.

"Sebentar lagi kita sampai."

Jawab Madya datar dan dingin. Matic yang membawa mereka seolah memasuki dimensi lain yang tak kasat mata. Jalanan yang kanan kirinya putih berkabut. Sepi yang memagut. Keramaian yang seolah terenggut.

Tiba-tiba Akshita Pradnya memekik kaget. Sosok Mirna tiba-tiba di sisinya, melayang di udara, membisikkan sesuatu yang membuatnya begidik ngeri.

Berhenti. Kalian dalam bahaya.

.
.
***

( Terima kasih yang masih setia membaca)
.
.
(17.17 WIB, 29 Agustus 2022)


Note :

Walker : Alat bantu jalan.

Vulnus laceratum : Luka robek.

Terapi okupasi : Prosedur perawatan khusus yang dilakukan  kepada seseorang yang mengalami masalah kesehatan tertentu, agar bisa memberi harapan positif.

🅳🅴🅰🆃🅷 🅰🅻🅱🆄🅼 ( 🅾🅽 🅷🅾🅻🅳 )Where stories live. Discover now