41

55 20 4
                                    

Firza menyetir mobilnya dengan kecepatan penuh meskipun dengan keadaan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali ke tempatnya.

Rumah Sakit Merdeka adalah tujuan Firza. Laju kendaraannya terpaksa harus berhenti karena jalanan sudah macet. Firza meninju stir frustasi. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan saat ini. Jantungnya sudah berdegup sangat kencang seakan-akan akan meledak sekarang juga. Nafasnya sudah tidak beraturan, jemari yang ada di stir bergetar hebat.

Firza ingin menangis. Rasa takut kehilangan menghantui pikiran Firza saat ini.

Sambil menunggu mobil yang ada di depannya maju, tangan Firza terulur mengambil ponsel yang ada di desk mobil, Firza mencoba untuk menghubungi Laras--Ibu Azam maupun Pak Haris, tapi keduanya tak ada yang menjawab panggilan telpon Firza.

Benteng yang sengaja Firza bangun agar air matanya tak jatuh sekarang rubuh. Firza menangis, namun dengan cepat air mata itu dihapus karena sekarang bukan saat yang tepat menjadi orang yang cengeng.

Dia harus kuat.

Mobil di depan sudah maju. Firza kembali meletakan ponsel di desk mobil. Kakinya langsung menginjak pedal gas kendaraan beroda empatnya menyalip mobil yang ada di depan karena jalanan di depan sudah kembali lenggang.

10 menit Firza menempuh perjalanan akhirnya sampai di Rumah sakit Merdeka--rumah sakit tempat Azam dirawat. Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran Firza langsung bergegas menuju ke meja resepsionis untuk menanyakan di mana Azam berada.

"Atas nama Azam Surya. Di mana dia?" tanya Firza ketika sampai di meja resepsionis.

Orang yang bertugas di sana dengan cepat mengecek nama Azam di komputer.

"Ruangan UGD. Ada di ujung lorong sebelah kanan."

Setelah mendapat jawaban di mana keberadaan Azam, Firza langsung setengah berlari ke tempat yang di maksud.

Sesampainya di depan ruang UGD, Firza melihat Bu Laras yang sedang menangis di dada Pak Haris. Wajah Pak Haris kosong, meskipun begitu telapak tangannya tetap mengusap pelan punggung sang Istri dengan lembut.

Firza tertegun. Ia tak tahu harus melanjutkan langkahnya atau tidak, namun kehadirannya langsung disadari oleh Bu Laras.

Wanita itu menyeka air matanya berdiri menghampiri Firza lalu merangkul Firza kembali menagis tersedu-sedu.

Firza masih berdiri diam.

Kemudian datang Pak Haris. Beliau menepuk bahu Firza pelan membawanya duduk di bangku tunggu.

Dokter yang tadi menagani Firza keluar. Ke-tiga orang yang sangat cemas itu langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan UGD.

Dokter yang menangani Azam adalah Nizar.

"Zar. Kasih tahu gue gimana keadaan Abang?"

"Gimana Dok keadaan anak saya?"

"Dia baik-baik saja kan Dok?"

Nizar langsung digempur oleh pertanyaan-pertanyaan.

Dengan berat hati Nizar berkata, "Azam koma karena benturan di kepalanya. Sekarang dia akan dipindahkan ke ruangan ICU."

Kaki Firza lemas. Tangisan Laras ketika mendengar anaknya koma makin kearas.

Sebelum pergi Nizar menepuk bahu Firza. "Sabar Za, gue pergi dulu."

***

Firza duduk di samping Bu Laras di depan ruangan ICU menatap ke lorong yang sepi dari orang yang berlalu-lalang.

Azam sekarang dipindah ke ruang ini agar Dokter mudah memantau perkembangan Azam.

Hanya ada mereka berdua yang duduk menunggu di ruangan itu, tak ada siapa-siapa lagi.

Pak Haris datang bersama dengan Riana yang membawa sebuah rantang dan termos kecil.

Riana langsung menghampiri tempat duduk Firza dan Bu Laras.

"Dek makan dulu." ucap Riana. "Bibi juga ayo makan, perutnya diisi nanti sakit." lanjutnya pada Bu Laras.

"Iya. Bibi makan nanti aja." Bu Laras menjawab sambil tersenyum, meskipun senyumannya tampak hambar.

Bu Laras melirik ke arah Firza yang duduk di sampingnya. "Isi dulu perut kamu nak."

Sama dengan jawaban milik Bu Laras. Firza juga menolak untuk mengisi perutnya.

Riana tak berniat untuk memaksa mereka berdua. Ia meletakan termos dan rantang yang berisi makanan di meja yang ada di dekat tempat duduk mereka.

"Saya pergi dulu Om. Nanti kalau bibi sama Firza sudah mau makan, minta tolong panasin aja di kantin. Maaf Om, saya gak bisa nunggu, soalnya si dedek lagi rewel."

"Maaf ya mbak merepotkan. Terima kasih."

Riana mengangguk kemudian pergi pulang.

***

Hari berganti dengan cepat. Malam sudah datang dan berubah makin larut. Jam di dinding lorong rumah sakit bercat putih menunjukkan pukul 1 dini hari.

Firza duduk sendirian di lorong yang sekarang berubah menjadi sangat sepi. Matanya fokus melihat ke arah luar rumah sakit, menatap langit malam yang berawan.

Kali ini suasana sepi tak membuatnya takut, begitu juga rasa dingin yang biasa tak bisa dia tahan sekarang dapat ditahannya.

Seseorang tiba-tiba duduk di samping Firza menyampirkan sebuah coat berawana putih dengan bau khas rumah sakit bercampur aroma parfum yang mulai pudar di bahu Firza.

Firza sudah tahu siapa orangnya.

"Nih makan. Kalau lo gak makan, sudah dipastikan nanti malah bakalan jadi pasien ini rumah sakit." Nizar menyodorkan roti bakar dan segelas susu coklat panas ke arah Firza.

Firza mengabaikannya. Ia merapatkan Coat yang tadi diberikan oleh Nizar meskipun sedikit terganggu dengan bau obat-obatan yang menempel di sana.

"Makan. Bocah. Gue gak mau digebukin abang lo itu jika dia tahu adik kesayangannya semaput gara-gara gak mau makan."

Firza meyerah. Dia mengambil makanan yang diberikan oleh Nizar, namun tiba-tiba perutnya terasa sakit.

Roti dan susu coklat jatuh ke lantai.

Firza memijat perutnya yang terasa sangat sakit. Nizar panik. Ia langsung memegang bahu Firza menanyakan keadaannya.

"Mana yang sakit?" Belum sempat menjawab, Firza sudah tumbang. Kesadarannya menghilang.

"Sialan. Nah kan." Nizar masih sempat-sempatnya memaki. Dia langsung memindah Firza membawa anak itu ke punggungnya lalu pergi ke ruang pemeriksaan.

***

Sabtu 2 Juni 2022
17.30
Have a nice day
See you

Kelas Siluman Where stories live. Discover now