27

79 20 2
                                    

Para guru dikumpulkan oleh kepala sekolah di ruangannya untuk rapat tentang pelaksanaan festival sekolah yang akan diadakan bulan depan. Semua kelas diwajibkan oleh berpartisipasi dan mengirimkan perwakilannya di berbagai bidang perlombaan yang nanti form pendaftaran akan diberikan ke ketua kelas.

Sejak awal rapat Firza sudah merasa adanya aura - aura negatif jika kelasnya tak akan dibolehkan ikut serta mengingat perkataan Azam yang mengatakan jika kelas yang dia bimbingan tak diizinkan mengikuti kegiatan sekolah dan setelah rapat selesai digelar benar saja dugaannya kelas XII D tak disebut sama sekali baik oleh guru maupun oleh kepala sekolah.

"Rapat kita sudah selesai! Jika ada yang ingin mengajukan pertanyaaan dipersilakan!"

"Sebelumnya maaf pak, kok kelas saya enggak disebut - sebut ya?" Firza memanfaatkan seisi tanya jawab dengan sangat baik. Jika semua kelas bisa mengikuti acara festival, kenapa hanya kelasnya saja yang tidak boleh ikut serta. Bukannya itu bisa dinamakan diskriminasi?

Kepala sekolah dan para guru dibuat kaget dengan pertanyaan Firza. Pak Kepala sekolah dalam mode mengheningkan cipta sebentar menimang jawaban apa yang akan dia ucapkan untuk menjawab sekaligus membuat Firza diam.

"Pak Firza, bapak kan guru baru di sini? Mungkin bapak belum tahu jika kelas XII D ikut serta ke festival sekolah mereka ditakutkan akan melakukan sebuah kekacauan seperti kakak kelas mereka di tahun - tahun sebelumnya. Kami tak ingin mengambil resiko."

Firza memutar kepala tak ingin kalah dengan argumen dari pak Kepala sekolah. Dia sedang memikirkan apa yang harus dia katakan agar kelasnya tahun ini bisa ikut kegiatan apapun caranya Firza akan membuat anak-anaknya ikut serta untuk kegiatan rutin tahunan ini.

"Saya berani jamin kalau kelas XII D tahun ini tak sama dengan kelas - kelas sebelumnya. Bapak bias pegang ucapan saya!" Firza mencoba meyakinkan kepala sekolah.

"Tidak. Apa yang membuat Bapak yakin jika mereka berbeda? Bukannya kelas bapak hanya diisi oleh sekumpulan anak - anak berandalan dan dengan nilai terendah di sekolah? Itu hanya kelas buangan! Tak ada gunanya untuk membela mereka!"

Firza ternganga mendengar ucapan kepala sekolah. Meskipun sudah tahu jika pria dengan rambut putih kerena uban memang julid, tapi tetap perkataan nyelekit tentang kelasnya membuat Firza kaget apalagi dengan bisik-bisik para guru yang menertawakan ucapan Kepala sekolah tepat di depan Firza membuatnya kesal pangkat limit.

"Pak. Kelas saya udah berubah ya. Jangan samakan dengan kelas yang di tahun - tahun sebelumnya meskipun saya tidak tahu gimana sifat mereka dulu. Lagian hidup kan berubah, mereka enggak bakal tertinggal selamnya loh. Yang buruk gak bakalan selamanya buruk, dan yang baik gak bakalan selamanya baik! Waktu bakalan ngubah semuanya, maaf ya contohnya kaya kasus sebelumnya!" Firza tak ada niatan untuk membawa kasus Risma, membawa masa lalu ke masa sekarang sama sekali bukan gayanya, tapi karena sudah emosi apa boleh buat.

Kepala sekolah tampak geram dengan ucapan Firza tapi ia tak berani mengatakan apapun, akhirnya setelah berfikir panjang ia pun mengambil sebuah keputusan dengan tujuan membuat Firza kalah di akhir. "Baik. Tahun ini saya akan memberikan kesempatan untuk kelas 12 D ikut berpartisipasi dalam festival sekolah, namun dengan catatan jika ada masalah bapak yang akan bertanggung jawab dengan masalah itu."

Tanpa ada keraguan Firza langsung menyetujui ucapan kepala sekolah.

.***

Di sore hari ketika banyak para siswa yang sudah pulang ke rumah, Akira malah ada di ruangan musik.

Dia duduk di depan piano memperhatikan tutsnya dengan lekat. Oktav yang ikut duduk di belakang dengan punggung bersandar pada dinding memperhatikan Akira yang sedang duduk di depannya.

Kelas Siluman Onde as histórias ganham vida. Descobre agora