3

219 38 4
                                    

"Yo, Bapak guru. Baru jadi wali kelas udah dipanggil sama bu Lia. Setahun ke depan apa kabar?" Suara Azam mengagetkan Firza yang tengah asik membaca buku.

Firza duduk di sudut perpustakaan. Dengan sengaja dia memilih bangku yang tersembunyi oleh rak-rak buku  tinggi biar tidak terganggu dengan penghuni perpustakaan lain yang kadang suka membuatnya merasa heran sekaligus terganggu karena banyak siswa yang sering datang ke perpustakaan bukannya untuk membaca namun, malah nge-date sekaligus memanfaatkan wifi perpustakaan.

"Berisik lu! Minggir!" usir Firza karena merasa tubuh jangkung Azam menghalangi pemandangan yang dilihatnya.

Azam tepat berdiri di depan jendela yang menghadap ke arah matahari terbenam.

Karenanya Firza merasa terganggu karena cahaya matahari terhalangi sehingga buku yang sedang dibacanya tak kelihatan. Berhubung lampu perpustakaan belum dinyalakan dengan alasan menghemat pengeluaran sekolah padahal SPP yang dibayar oleh para siswa tergolong sedikit lebih mahal, masa iya enggak cukup untuk menghidupkan lampu-lampu di perpustakaan?

Azam menyingkir menuruti titah sang sahabat. Dari raut wajah Firza, Azam yakin jika dia sedang bad mood gara-gara mendapatkan undangan mendadak dari Bu Lia.

Azam duduk di pinggir Firza memainkan ponsel agar dia tak merasa bosan menunggui Firza yang sedang membaca, Firza kalau masuk mode bad mood susah diajak bercanda.

Karena iseng, ia mengklik salah satu video yang ada di beranda facebook miliknya. Videonya memutar percakapan artis. Namun, anehnya tak ada suara. Karena itu, ia menaikan volume. Volume ponsel sudah full, tetapi nihil, tetap tak ada suara. Azam langsung mengklik ke pertengahan video sebab penasaran dengan apa yang sedang kedua artis itu bicarakan karena di kolom komentar
banyak komentar yang menjelaskan jika percakapan keduanya sangat asik hingga sayang untuk dilewatkan.

Jiwa-jiwa kepoan Azam seketika meronta.

Ternyata isi videonya di luar duagaan.

"Argh ... Argh ... Yamete kudasai oneechan!"

Azam langsung melempar ponselnya. Firza langsung melirik dengan tatapan tak percaya. Raut terkejut tergambar jelas di wajah Azam.

Sesaat, perpustakaan yang hening berubah menjadi riuh saling bertanya dari hp siapa suara ambigu itu berasal mengingat volume hp Azam full hingga suaranya dapat didengar oleh orang-orang di perpustakaan yang sedang hening-heningnya.

Beruntung Firza dan Azam adalah guru. Jadi, tak akan ada yang berani mencurigai mereka terlebih tempat keduanya duduk tersembunyi.

Firza langung merebut ponsel Azam. Dengan cepat ia mematikan hp Azam agar suara pembawa petaka itu terhenti. Ia mengebrak meja beberapa kali. Perpustakaan kembali hening. Tak ada yang berani angkat suara lagi mempertanyakan kejadian tadi.

"Bang, lo tahu lu jomblo. Tapi gak harus muter video sialan itu dengan full volume ditempat kaya gini!" Firza langsung memarahi Azam karena berani memutar video pembawa petaka di perpustakaan.

Wajah Azam memerah menahan malu. Dia langsung salah tingkah sendiri.

"Suer, gue gak play video gituan. Itu yang bikinnya gak ada ahlaq. Video biasa namun ditambahin suara ambigu. Lo harus percaya sama gue dek!"

"Percaya sama lo musrik. Dah, mau pulang capek. Besok masih harus ngajar!"

Firza langsung pergi meninggalkan Azam sendirian di perpustakaan. Tangan Azam masih bergetar. Ia trauma. Dengan cepat ia menghapus video terkutuk itu dari ponselnya. Jaga-jaga jika nanti tak sengaja ia play lagi. Sudah cukup. Ia tak ingin jatuh untuk kedua kalinya.

Azam langsung bangkit mengejar Firza yang keluar dari perpustakaan mengingat jika hari ini Firza tidak membawa mobil, Firza numpang di mobil Azam.

***

Firza sampai di rumah dengan wajah kelelahan. Satu hal yang sekarang sangat-sangat dia rindukan. Kasur.

Firza mempercepat langkahnya masuk ke dalam kamar, langsung saja dihempaskan badannya ke atas kasur yang sangat empuk itu.

Sungguh hari yang penuh drama. Yang dia butuhkan saat ini adalah tidur.

***

Firza bangun ketika adzan magrib berkumandang.

Segera dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus siap-siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim.

Solat magrib sudah ditunaikan. Firza merasa bosan sekali hingga mencari sesuatu untuk dikerjakannya. Energi Firza sedikit terisi kembali berkat tidur sore.

Matanya menangkap tas yang tergantung di pintu. Firza baru sadar jika barang-barang di tas belum dikeluarkan. Karena itu dia bangkit mengambil tas kemudian meletaknya di meja belajar.

Firza duduk di atas kursi membuka tas yang isinya sama sekali tidak memiliki unsur kerapihan.

Barang yang pertama dikeluarkan adalah sapu tangan usang. Firza tak ingat kapan memasukan sapu tangan ke tas. Berikutnya buku-buku pelajaran yang langsung disimpan di rak. Lalu pouch yang entah isinya apa. Botol parfum yang tak ada isinya. Dan P3K mini yang tak pernah ia lupa bawa beserta botol minum.

Perhatiannya jatuh pada kumpulan kertas yang terlipat rapi di bagian depan tas. Karena penasaran, ia langsung membuka salah satu dari surat-surat itu.

"Dear bapak, jangan kasih kami tugas banyak-banyak jika masih mau tetap nafas!" Firza membacanya dengan keras. Tanpa ia tahu, kakanya ada di kamarnya sedari tadi memperhatikan.

"Lo dapat surat ancaman dek?" tanya Riana. Wanita itu memasang wajah nyengir.

"Teh, bisa gak jangan contoh jelangkung. Minimal, pas buka pintu bikin suara gitu!"

"Lo aja yang keasikan, sini kasih ke teteh surat-suratnya!"

Firza menyerahkan beberapa lembar surat pada Riana. Saat membaca beberapa nama yang tertera di surat ia baru sadar jika itu surat yang ditulis oleh kelas XII D. Nampaknya faktor U datang terlalu dini. Ia baru tahu jika dirinya akan menjadi sepelupa ini.

"Hmzz, rata-rata isi suratnya ancaman sama hujatan semua. Kayanya lu disayangi banget ya sama anak didik lu!" ucap Riana.

Firza tersenyum kecil. Sejak kapan surat ancaman berubah jadi surat cinta?

"Iya, saking sayanganya nampaknya mereka gak segan-segan ngancam gurunya sendiri. Pengen deh gue sentil paru-parunya!"

"Kalau aja mereka berani nyakiti lo, fiks bakalan gue kasih gift sama mereka karena udah nyingkirin mahluk kaya lo di rumah ini!"

"Monmaaf, meskipun nyebelin kalau gue mati pasti lu bakalan nangis!"

Hening. Tak ada percakapan lagi diantara mereka. Riana tertarik dengan satu surat. Ia tersenyum geli lalu membacakannya untuk Firza.

"Dear sensei. Kali-kali kita ngewibu bareng yuk. Saya punya banyak anime baru. Saya yakin sensei bakalan menyukainya."

Firza tersenyum. Ia merebut kertas dari Riana kemudian membaca pengirimnya. Ia menggelengkan kepala. Bagaimana tidak, di kolom pengirim tertulis dari ponakan Shinigammi. Tapi, entah kenapa Firza yakin seribu persen jika pengirimnya adalah Abas. Secara tadi diperkenalam mereka membahas tentang Shinigammi: Malaikat pencabut nyawa dari Jepang.

Semua surat telah dibaca. Ia mengambil surat-surat dari Riana lalu menyimpan surat-surat tersebut di dalam kotak yang kemudian disimpan di laci.

Firza meregangkan badan yang terasa kaku. Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi di kamar sebelah.

"Teh, si dedek bangun." Mendengar anaknya menangis, Riana langsung keluar dari kamar Firza.

Firza kembali ke atas kasur. Setelah mematikan lampu matanya terpejam. Tak lama berselang, dengkuran halus terdengar pelan keluar dari bibirnya.

Ya, tidur Firza masih belum cukup.

***

Senin 25 Oktober 2021
22.15
Have a nice dream
See you.

Kelas Siluman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang