"Napa lo? Trauma?" Akbar menggerakkan kepalanya ke arah Ilham melihat cowok itu masih tetap diam. Tidak seperti biasanya yang banyak tingkah dan tidak bisa diam.

Ilham melirik Akbar kesal. "Trauma pala lu penyok! Kaget gue anjir! Tiba-tiba mau dibantai gitu aja sama Gala."

"Lo sih."

"Li sih!" nyinyir Ilham. "Orang gue bilangnya ke dia juga santai kok."

"Santai, santai, lo banyak bacot, makanya Gala emosi. Lain kali mikir dulu, jangan asal nyerocos. Tau waktu kapan harus diem. Kapan harus ngomong."

Ilham mengusap dadanya dramatis. "Ya Tuhan, gue salah mulu."

Sementara Alan, setelah memastikan Gala hanya duduk di teras sembari merokok, tidak pergi kemana-mana, ia kembali masuk dan duduk di sofa sebelah Ilham.

Alan menyahuti keluhan Ilham yang sempat ia dengar tadi. "Emang lo tempatnya salah, Ham. Baru sadar?"

"Iye-iye, Lan. Kalo kata cewek lo kesempurnaan hanya ada di diri lo. Cowok lain mah apa, cuma butiran upil."

"Gak ada manusia yang sempurna," bantah Alan berdecak kasar. "Kesempurnaan cuma milik Tuhan."

"Iya juga sih." Ilham menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Salah lagi. Salah lagi. "Perasaan gue gak pernah bener dah."

Mereka bertiga akhirnya saling terdiam. Memikirkan harus mencari keberadaan Riri di mana lagi. Pasalnya semua tempat yang memungkinkan Riri kunjungi sudah mereka datangi. Namun hasilnya nihil semua.

Bahkan tadi mereka juga sudah mendatangi Rafa ramai-ramai. Rafa yang tengah bermain bersama anak panti di panti asuhan pun terkejut bukan main. Rafa bingung saat mereka berempat tiba-tiba menghampiri dirinya seperti ingin mengeroyok.

Menurut pengakuan dari Rafa, tadi ia keluar kelas paling awal dan Rafa tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Entah Riri juga langsung keluar kelas dan pulang ke rumah atau bagaimana. Karena dirinya buru-buru pulang untuk membelikan makanan anak panti sesuai janjinya di hari sebelumnya, jadinya Rafa tidak terlalu memerhatikan keadaan sekitar dan langsung pergi begitu saja.

Awalnya Gala menolak percaya dengan semua yang Rafa jelaskan, karena sedari awal Gala sudah menaruh rasa curiga yang cukup besar terhadap Rafa. Tapi karena Gala tidak punya bukti apa-apa untuk menyalahkan Rafa atas hilangnya Riri, alhasil Gala memilih untuk kembali ke markas Drax. Meski jiwa-jiwa iblis nya ingin tetap menghajar Rafa sampai babak belur. Entah lah.

"Katanya lo mau pulang ngerjain tugas, Ham?"

Ilham menggeleng pelan. "Gak jadi."

"Kenapa?" Akbar menaikkan sebelah alisnya. Heran. Padahal tadi sore cowok itu mengeluh banyak tugas yang harus diselesaikan malam ini dan sekarang jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam. "Bukannya tadi lo bilang tugas lo banyak dan harus dikumpulin besok pagi?"

"Ck, gimana sih lo, Bar? Masa Gala lagi kesusahan, gue-nya malah mentingin diri sendiri? Sahabat macam apa gue?"

Alan melirik Ilham sekilas sambil bersidekap dada. Dalam keadaan apapun Alan memang selalu terlihat tenang. "Tugas lo juga penting. Pulang kalo mau pulang. Biar gue, Akbar sama yang lain yang nemenin Gala."

"Tau, Lan. Tapi gue masih pengen di sini. Meskipun gak bisa bantu Gala banyak, seenggaknya gue langsung siap kalo Gala butuh bantuan."

Akbar menatap Ilham aneh. "Lo gak demam, kan, Ham? Tumben agak waras."

"Apa jangan-jangan otak lo agak miring karena tadi hampir ditonjok Gala?"

Ilham memasang wajah sedih. Kali ini benar-benar terlihat sedih dan tidak dibuat-buat seperti biasanya. "Riri itu udah kayak adek gue sendiri. Gimana gue gak sedih kalo dia ngilang gini? Gimana kalo dia kenapa-kenapa? Pastinya bukan cuma Gala sama keluarga Riri aja yang sedih. Gue jugalah."

BUCINABLE [END]Where stories live. Discover now