47. Lamaran

4.8K 268 14
                                    

Setelah mendudukkan diri di dalam taksi, Viola menghela nafas pelan, sedari tadi anaknya rusuh di dalam. Mungkin sang anak girang, karena telah bertemu dengan ayahnya, Viola jadi kepikiran.

Bagaimana kalau nanti Arkan mengambil anaknya?

Bagaimana kalau Arkan menikahinya paksa?

Bagaimana jika setelah menikah nanti, Arkan selingkuh?

Pikiran-pikiran negatif berkeliaran di kepalanya, menerka-nerka kemungkinan yang akan terjadi jika ia menerima kembali Arkan. Lelaki itu sudah menorehkan luka yang tidak kecil, memaafkannya pun sudah berkali-kali.

Kata maaf tidak bisa mengobati lukanya, kata maaf tidak bisa menyembuhkan traumanya.

"Mbak, ini mau diantar kemana ya?" Suara dari supir taksi membuat Viola tersadar dari lamunannya.

"Cafe Galaxy, Jalan Bangkai," jawab Viola dengan cepat dan singkat.

Tempat yang dituju Viola saat ini adalah cafe milik Gavin, selain membantu orangtuanya mengelola perusahaan, Gavin juga mendirikan bisnisnya sendiri. Disini juga pertama kalinya ia bertemu dengan Gavin, tepat saat dirinya patah hati melihat Arkan keluar dari hotel bersama kolega perempuannya.

Turunnya hujan di sore ini, seperti mendukung suasana hatinya, langit seolah ikut bersedih. Viola menatap Jus Alpukat nya dengan sendu, matanya sedikit memberat karena menangis lama.

Seharusnya ia tidak seperti ini, Arkan dan Viola sudah lama tidak berkomunikasi.

Viola membuka laptopnya, mengalihkan rasa sakit hatinya dengan mengerjakan tugas. Sedang fokus mengerjakan tugas, Viola dibuat terkejut dengan seseorang yang tanpa permisi duduk di kursi depannya.

"Hai," sapa lelaki itu sambil tersenyum lebar, tangannya menyodorkan segelas coklat panas.

Viola mengerutkan keningnya, matanya beberapa kali menatap gelas dan lelaki itu secara bergantian.

"Buat nemenin nugas, diluar lagi hujan, enak kalau minum yang hangat-hangat," ucap lelaki itu tanpa melunturkan senyumnya.

"Terimakasih, tapi saya gak bisa terima," tolak Viola secara halus.

"Kenapa? Gue gak kasih racun, apalagi obat macem-macem," senyuman lelaki itu sedikit meluntur karena tolakan dari Viola.

"Sekali lagi, maaf."

Menghela nafas, lelaki itu kembali menarik gelasnya dan meminum beberapa tegukan.

"Gavin," tangannya terulur di depan Viola.

"Viola," balas Viola dengan mengulurkan tangannya membalas jabatan tangan Gavin.

"Kita satu universitas, jurusan apa?" Gavin menunjuk jas almamaternya, kedua sudut bibirnya kembali terangkat membentuk senyuman yang indah.

"Bisnis, lo sendiri?" Sepertinya Viola sudah mulai nyaman berbicara dengan Gavin, panggilannya sudah mulai santai tidak memakai bahasa baku lagi.

"Kedokteran," Gavin menjawab sebelum menyesap coklat panasnya lagi.

Kedua kembali dilanda keheningan, Viola yang kembali sibuk berkutat dengan laptopnya, dan Gavin yang menatap hujan yang tak kunjung reda.

"Udah berapa bulan?"

Sontak Viola menatap Gavin terkejut, bagaimana bisa Gavin tau? Kandungannya masih terbilang kecil, dan sekarang ia memakai pakaian yang longgar.

"Gak usah tegang gitu, gue tau dari buku ini," Gavin mengangkat buku yang terletak di samping laptop Viola.

'Cara menjadi ibu yang baik'

ARKANWhere stories live. Discover now