43. Cimol

4.8K 265 48
                                    

"Iya," Viola tersenyum sambil membalas genggaman tangan Arkan membuat pria itu merekah kan senyumannya.

"Tapi dulu, coba kalau kamu gak akan turuti permintaan Jovanka buat tidur bareng, dan bicarain tentang rencana kamu ke aku dari awal," lanjut Viola.

Arkan melunturkan senyumannya, genggaman tangannya pada tangan Viola mengendur, dan sekarang berganti Viola yang menggenggam tangan Arkan lembut.

"Maaf banget, tapi aku beneran gak bisa balik lagi," Viola melepaskan genggamannya.

"Kenapa? Kamu gak kasian sama Raka? Dia udah nyaman banget sama kamu," Arkan memakai nama anaknya sebagai alasan agar Viola tetap bersamanya.

"Dia masih kecil, jangan jadiin dia alasan. Ini salah kamu sendiri, coba kamu dari awal cerita ke aku, mungkin aku bakal tetap sama kamu."

"Kasih aku satu kesempatan lagi," Arkan menyatukan kedua tangannya dia dada, memohon.

"Mau aku kasih kesempatan berapa banyak lagi? Aku capek," Viola menghela nafas panjang.

"Maaf, kamu boleh pergi," Viola meninggalkan Arkan yang termenung.

Arkan mengerjapkan matanya, berharap semua hanya halusinasinya, berharap semua hanya imajinasi. Tetapi mau sebanyak apapun ia mengedipkan matanya, ia tidak kembali pada realita, karena sedari awal ini semua adalah realita.

"Gue bego banget ya," ucapnya lirih sebelum pergi meninggalkan rumah Viola.

-

Dilain tempat, wanita dengan lingerie merah tersenyum saat melihat mobil Arkan keluar dari pekarangan rumah Viola. Wanita itu tersenyum lebar, sambil memutar-mutar pelan gelas yang berisi susu dan menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Udah puas bikin Arkan hancur?" Tiba-tiba dari belakang, seorang laki-laki memeluknya sambil mengecup basah tengkuknya.

"Puas banget," Jovanka membalikkan badannya dan menatap Gibran dengan tatapan nakalnya.

"Ayo lanjutin yang tadi," Gibran menarik tangan Jovanka untuk duduk di kasur.

"Kasian, nanti dia ngerasa gak nyaman kalau Ayahnya jengukin terus," ucap Jovanka sambil mengelus perutnya yang masih rata.

"Maaf ya sayang, Ayah kangen banget sama Mama kamu," Gibran berjongkok dan berbicara pada perut Jovanka.

"Kamu masih ada niatan ngajakin Viola buat jadi model?" Jovanka mengusap rambut Gibran dengan lemah lembut.

"Enggak," jawab Gibran dengan ketus.

"Eh? Kenapa?" Tanya Jovanka bingung, Gibran yang melihat tingkah gemas istrinya segera mengecup seluruh wajah Jovanka.

"Dia gak cantik," Gibran menatap manik mata Jovanka dengan dalam.

"Menurut aku, dia cantik, porsi tubuhnya juga pas buat seukuran model. Aku lagi hamil gini, gak mungkin aku bakal jadi model selamanya dan telantarin anak kita."

"Bagus, kamu emang gak usah kerja, diam dirumah jaga anak-anak kita. Setelah kamu berhenti dari dunia permodelan nanti, aku juga bakal tutup agensi," Gibran mengecup hidung mancung Jovanka.

"Kenapa? Nanti kita makan apa kalau kamu tutup agensi?"

"Aku punya perusahaan kalau kamu lupa," Gibran bangkit dari posisi setengah tidurnya dan bersedekap dada sambil menatap kesal Jovanka.

"Oh iya, aku lupa kalau suami aku kaya raya," Jovanka tertawa pelan sambil mencubit gemas kedua pipi Gibran.

"Besok jadi miskin yuk? Aku mau rasain gimana jadi miskin deh," Gibran menangkup tangan Jovanka yang berada di kedua pipinya dan bergantian menatap Jovanka dengan mata berbinar.

ARKANWhere stories live. Discover now