Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan

Start from the beginning
                                    

Mendengar namanya, Atha bisa merasakan jantungnya berdegup cepat tiba-tiba. Nafasnya tertahan beberapa detik melihat figur seorang Nara berdiri tidak jauh didepannya. Dia tidak mengenakan seragam atasnya sekarang, malah hanya kaos putih yang memperlihatkan postur tubuh atletisnya samar-samar selagi rambutnya dicat pirang seperti yang terakhir kali Atha melihatnya.

Untuk beberapa saat, Atha baru menyadari Nara hanya berdiam diri saja disana sambil menunduk. Kelihatan seperti sedang menunggu seseorang.

"Lihat, disana―ada Kariza."kali ini Faust menunjuk seseorang yang memakai jaket hitamnya. Mengintip Nara dari balik sisi lain tembok gedung sekolah diam-diam sambil menyipitkan mata hazelnya.

Alis Atha bertaut bingung sekaligus penasaran. Tidak habis pikir dengan apa yang sedang Kariza coba lakukan.

"Nar, sorry, lama nunggu ya?"suara perempuan mengalihkan perhatian Atha lagi. Mata coklatnya mendelik mendapati seorang siswi berdiri didepan Nara. Memakai baju bebas. Kaos ungu dengan celana selutut berwarna putih selagi tangan kiri perempuan itu memegang raket tennis. Tas selempang dipakainya sebelah bahu.

Atha memincingkan mata, menatap perempuan tersebut dari atas hingga bawah beberapa kali.

Cantik "banget".

Postur tubuhnya yang tinggi hanya sedikit lebih pendek daripada Nara ―wajahnya tirus dengan hidung mancung dan kulit putih. Bisa dipastikan kalau Atha berjalan disebelahnya, dia pasti terlihat seperti itik buruk rupa.

Batin Atha bertanya-tanya, siapa perempuan itu?bahkan dibanding Irina dia jauh lebih cantik.

Atha melihat Nara menggeleng dengan wajah datar―kelewat datar untuk seseorang yang sedang berhadapan dengan orang cantik. Tapi kemudian, pemuda itu tersenyum. Memperlihatkan sepasang lesung pipitnya yang dari sejak Atha bertemu dengannya pertama kali, sangat memikat.

Yaampun, sudah berapa lama Atha tidak melihat senyumannya?

"Kenapa manggil?"tanya perempuan itu.

"Lo datang ya Nan, pertandingan boxing gue. Hari Sabtu minggu ini. Di Arena."ucap Nara.

Atha melirik kearah Kariza. Pemuda berjaket hitam itu terlihat seperti seseorang yang sedang menahan emosi. Sebelah tangannya terkepal erat. Kalau di buku komik, mungkin dia akan digambarkan dengan kepulan asap keluar dari telinga dan hidungnya.

"Klub boxing sekolah kita mau ikut tanding di Arena?"

Nara mengangguk tanpa menghilangkan senyumnya. "Iya, Nanda."

Mulut Atha terbuka sedikit, membentuk huruf "o" kecil. Sekarang dia bisa menyimpulkan nama perempuan cantik yang sepertinya ikut klub tennis itu. Namanya, Nanda.

"Siapa aja yang ikut emangnya, Nar?"tanya Nanda lagi.

Ada sedikit jeda sebelum Nara kembali angkat bicara. Matanya membuang pandangan kearah lain. "Cuman gue sama Kariza yang wakilin sekolah."

Mata coklat Atha terbelalak kaget. Yang barusan itu dia tidak salah dengar kan?Kariza―bukannya dia ikut klub basket?

Meskipun melihat postur badan Kariza, Atha bisa saja percaya, tapi perkataan Erik tadi pagi yang membuat tanda tanya besar dalam benaknya. Jelas-jelas pria itu menyebut klub basket, bukan boxing.

"Kariza bukan anggota klub basket lagi."ucapan Faust yang begitu tiba-tiba dan seolah bisa membaca pikiran Atha, membuatnya menoleh.

Atha mengangkat kedua alisnya keatas. Menatap Faust dari balik poninya. "Lo tahu darimana?"

"Kamu lihat wajahnya lebam dan bibirnya luka kan?―kemungkinan anggota basket terluka dibagian wajah itu kecil. Mereka cenderung cedera otot atau tulang. Itu pun bagian kaki atau tangan."Faust menjawab dengan lancar. Membuat Atha menganga dan manggut-manggut mengerti.

Replaying UsWhere stories live. Discover now