Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

Setelahnya Raja mencium kening Zara cukup lama, di lanjut dengan Zara yang bersaliman.

Gadis itu memandang punggung Raja yang memasuki mobil,  hingga akhirnya menghilang di pekarangan rumah.

Zara menutup pintu dan mendudukan dirinya di sofa. Rumah kini sepi di karenakan kedua orang tua Raja yang tengah berbisnis ke luar kota.

Ia menghela nafas, memandang vas bunga di meja dalam diam.

Cukup lama ia melamun,  sampai akhirnya beralih menatap jam di dinding.

Zara menggigit kuku jarinya,  ia tampak gelisah.

Butuh beberapa saat hingga akhirnya gadis itu bangkit,  berjalan memasuki kamar guna membawa tas.

Setelahnya berjalan pergi keluar rumah.


####



Koridor rumah sakit begitu ramai, banyak pasien sakit jiwa yang berkeliaran.

Zara berjalan terhati-hati sambil memegangi perutnya yang sudah sedikit buncit.

Gadis itu sesekali tersenyum pada perawat.

Tepat di ujung lorong. Zara memberhentikan langkahnya.

  Ia mendekati pintu yang tengah di gembok,  lalu memperhatikan jendela ruangan yang menampakan sosok lelaki.

Zara bergeming.

Lelaki itu awalnya menunduk memandangi poto. Namun,  kini mendongak membuat tatapan keduanya bertemu.

Tatapan itu..

Berbeda.

Tak ada lagi obsesi.

Tak ada lagi gairah.

Tak ada lagi binar keceriaan, atau pun tatapan yang menyeramkan.

Yang ada hanya kepedihan.

Zara menelan salivanya.

Devan tampak memandangnya lama,  sampai akhirnya berdiri.

Berjalan tertatih dengan senyum tipis yang tercetak.

"Aku ngehalu lagi, ya?" Devan berkata serak.

Zara tetap bergeming dengan pegangan di pagar besi jendela yang menguat.

  "Kamu cantik, Ra." Lelaki itu terkekeh kecil.

  "Tiap hari aku ngehalu kamu kesini, sekarang aku halu lagi." Ia menghentikan langkahnya saat rantai yang melilit kakinya sudah pul,  tak bisa membuatnya berjalan lebih jauh.

"Aku disini di pukul, Ra. Kalo gak mau makan rambut aku di jambak. Dokternya jahat, Ra." Devan menghela nafas, menunduk menatap poto di genggamannya.

  "Kemarin dokternya mau ngambil poto kamu dari aku, aku nolak Ra. Tapi setelah itu kepala aku di tendang."

"Aku se-gak pantes ini ya buat bahagia? Apa karna aku gila?" Nada bicaranya berubah bergetar.

Sedangkan Zara masih diam, sampai akhirnya bersuara.

  "Ini aku, Zara." entah dorongan apa ia mengatakan hal tersebut.

Devan yang semula menunduk langsung mendongak,  memperhatikan Zara dengan lekat.

"Ra?" Devan memanggil.

Zara mengangguk.  "Ini aku."

"Aku gak halu, Ra?  Ini beneran kamu?" Devan antusias, berjalan kembali dengan paksa, mengabaikan kakinya yang bengkak.

Rantai sudah mentok,  namun Devan tetap ngotot berjalan paksa walau pada akhirnya ia tak maju sedikit pun.

Zara membekap mulutnya,  menahan isak tangis yang hendak keluar.

  "Ra,  aku mau peluk kamu." Devan berkata dengan sorot mata yang begitu bahagia.

  Zara menggeleng.

Ia berjalan mundur kemudian berlari dari sana.

"Ra!!!" Devan berteriak hingga terdengar keluar.

Zara berlarian di koridor dengan tangis histeris,  tangannya membekap mulutnya sendiri.

Ia melewati belokan koridor, tanpa menyadari ada sosok yang bersandar di tembok. Memperhatikan gerak-gerik nya yang mulai menjauh.

  Di sisi lain Devan tengah berusaha melepaskan rantai di kakinya, tak peduli dengan darah yang mulai mengalir di sana.

  "Aku butuh kamu,  Ra!" Devan terduduk lemas,  menatap lantai dengan bahu bergetar.

  "Aku butuh kamu." Suaranya berubah parau.

Pintu terbuka membuat Devan langsung mendongak.

Seketika kekehan terdengar dari arah pintu.

  "Lemah." sosok di sana mengejek.

Berjalan mendekat dan menarik dagu Devan dengan kasar. Hingga akhirnya menampar Devan dengan kencang.

Devan hanya diam, memandang lantai dengan pipi yang terasa panas.

Sampai akhirnya tubuhnya ambruk ke samping saat bogeman kasar mengenai rahangnya.

"Mati!" Leo mengumpat,  berdiri dan menginjak perut Devan hingga lelaki itu terbatuk.

Tak sampai itu.  Ia bahkan menendang tubuh Devan secara brutal.

Setelah puas. Leo terlihat mundur, menatap bangga pada Devan yang terkapar.

Lalu ia berjalan keluar.

  "Kerjain tugas lo, jangan kasih dia makan sampe besok.  Kalo bokapnya dateng, lo harus cegah seperti biasa." Leo berujar pada dokter di sampingnya.

Dokter tersebut mengangguk patuh.

Bersamaan dengan Leo yang akhirnya pergi dari sana.







....

Leo anjg


ObsessionWhere stories live. Discover now