Delapan belas

28.3K 1.5K 41
                                    


Leo menghembuskan nafas bosan. menatap Aldi yang asik menggoda siswi di kantin.

Pandangannya turun menatap sepatu. Rasanya sepi jika tak ada Raja di antara mereka.

"tumben diem, biasanya godain cewek." Ibo menepuk bahu Leo kemudian mendudukan diri di sampingnya.

"Gue kangen Raja, Bo. Sepi banget kalo gak ada dia." Leo menjelaskan dengan nada sendu.

"cengeng amat lo! Lagian tiap pulang sekolah juga kita jenguk tuh bocah." Ujar Ibo lanjut memakan gorengan.

Leo berdecak. "Heh, gue lebih lama sahabatan sama dia di banding lo. Gue kaya gini karna peduli sama dia!"
Ibo yang tengah memakan gorengan menoleh, menatap Leo dengan satu alis terangkat.

"lo kira gue gak peduli, hah?!" Ibo sewot, tidak melanjutkan aktivitas memakan gorengannya, ia merubah posisi menghadap Leo.

"jelas lo malah enjoy-enjoy aja sedangkan temen lo lagi koma! Koma Bo, koma!" Leo mulai tersulut emosi.

Ibo terkekeh. "lo kekanak-kanakan. Gue, Kenan, sama si Aldi juga udah nganggep si Raja sodara sendiri! Jangan mentang-mentang lo yang paling lama kenal sama dia lo ngerasa kalo kita gak peduli sama si Raja!"

Seisi kantin mulai hening, Aldi yang tadinya asik menggoda Siswi tadi kini mendekat. Kenan yang baru masuk ke kantin pun menaikan alis mendapati keributan.

"lo gak paham?! Di saat temen lo koma gara-gara cewek sialan itu lo malah santai-santai! Sedangkan gue sibuk bales dendam sama cewek anjing itu! Lo sama sekali gak peduli, bangsat!" Leo yang sudah emosi mencengkram kerah Ibo.

Kenan yang semula berdiri langsung memisahkan.

Aldi menahan Leo dari belakang, sedangkan Kenan menahan Ibo.

"Gue udah bilang supaya lo cari tahu dulu, Bajingan! Bukan malah bertindak gegabah kaya gitu! Lo kira dengan cara balas dendam Raja bakal suka? Lo kira dengan bakar rumah si Zara, Raja bakal bangun? Enggak! Lo pikir gue gak tau lo ngerencanain sesuatu buat ngancurin tuh cewek?!"

Leo menggeram marah, ia menatap wajah ibo yang sudah memerah karena emosi.

"argh! Bangsat!" Tanpa aba-aba Leo langsung memberontak dari cekalan Aldi dan meninju rahang Ibo saat itu juga.

Seisi kantin heboh.

Mereka membicarakan perihal Zara dan Raja.

####

Zara menatap tangannya yang berdarah. Lalu ia menatap Devan yang duduk dengan siku menekuk. Kepalanya geleng-geleng sambil meracau tak jelas, tubuhnya bergetar.

Zara menghela nafas, merapikan serpihan kaca yang berhamburan di lantai.

Setelahnya ia menghampiri Devan.

"pergi! Arghh!"

Devan meronta saat Zara mencekal pergelangan tangannya dengan pelan.

"hey, udah ya?" Zara mencoba menenangkan, sialnya Devan malah mendorongnya hingga membentur meja dekat kasur.

Zara meringis merasakan kepalanya berdenyut ngilu.

"ck! Aku cape, Dev! Aku cape! Kamu bilang mau berubah tapi kamu gamau berusaha!!" Zara menatap Devan dengan kesal. Sungguh ia lelah menghadapi Devan.

Padahal hari ini adalah jadwal Devan untuk ke psikiater, namun lelaki itu menolak keras, mengatakan jika dia tidak gila dan kembali mengamuk.

"Arghhh bajingan!" Devan bangkit, menendang Zara yang terduduk.

"Mati! Mati! Mati!" Devan berujar dengan nada bergetar.

Zara meringkuk memegang kepalanya dengan kedua tangan. Lagi-lagi seperti ini.

Devan menjauh, memilih meninju tembok dengan keras tanpa memperdulikan tangannya yang sudah berdarah.

Zara bangkit, berusaha menghentikan aski Devan.

"ayo mati! Ahahhahaha." Devan tertawa di sela amukannya.

Zara meringis namun tetap mendekat.
"heyy, udah ya, ada aku. Gaboleh kaya gini." Zara berusaha setenang mungkin, ia memeluk punggung Devan, berharap lelaki itu akan tenang dengan pelukannya seperti biasa.

"aku gak gila!" Devan membalikan badan, mencengkram bahu Zara dengan keras hingga gadis itu meringis dan menutup kedua mata saat Devan membentaknya.

"Aku gak gila!!" Devan mengulangi perkataanya. Mendorong Zara dan kembali meninju tembok.

Zara menunduk, menatap kakinya yang berdarah karena menginjak kaca tadi.

Ia mendongak, menatap Devan yang semakin kesetanan.

"kamu gila! Kamu gak waras! Kamu stres!!" Zara muak. Zara muak harus terkurung disini setiap hari, ia muak dengan sifat Devan yang temperamen.

Ia pikir berusaha menyembuhkan Devan adalah cara terbaik. Namun ia salah, lelaki itu tak akan berubah jika bukan karna kemauannya sendiri.

Devan hanya ingin Zara di sampingnya, mengisi harinya, menerima amukannya, dan segala hal buruk tentangnya.

Tapi Zara hanyalah gadis biasa, ia manusia biasa yang juga bisa merasakan sakit. Entah secara mental ataupun fisik.

Zara juga lelah.

"Apa kamu bilang?!" Devan mendekat, mencengkram dagu Zara dengan kasar. Gadis itu sudah menitikan air matanya.

"ka-kamu gila!" katanya meski terkecat namun kali ini Zara ingin melawan.

"Anjing!" Devan semakin emosi, mendorong Zara ke atas kasur hingga telentang.

"Devan!" Zara menjerit saat lelaki itu membuka bajunya dengan paksa.

"kamu bilang aku gila, kan? Iya! Aku gila Zara! Aku gila! Ahahaha!" Devan melanjutkan aksinya.

Zara berusaha melawan namun tenaganya tak sebanding dengan tenaga Devan.

Pada akhirnya ia hanya bisa menangis.

"kamu punya aku! Punya aku!!!!!" Devan berteriak, ia menciumi leher Zara. Tanganya bergerak membuka kancing baju Zara dengan kasar.

"selamanya punya aku." lanjutnya kemudian mencium bibir Zara.

Zara memalingkan muka, ia menangis, rasanya dirinya seperti jalang saat ini.

Zara hanya bisa pasrah saat Devan melucuti pakaiannya, menampar pipinya, menciuminya dengan kasar lalu membuat tanda merah di sekitar dadanya.

Zara hanya bisa menangis saat Devan memasukan paksa miliknya, menerobos mahkota yang selama ini ia jaga.

"ahhh, sayang. Kamu punya aku, selamanya punya aku. Ahahaha!" Devan terus berucap seperti itu di sela-sela aksinya yang bergerak memompa tubuhnya.

Tbc.

Obsessionजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें