Part 22 : Ketika Langit Menangis

330 45 0
                                    

Bismillah

✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾

Mobil hitam berkelas dunia itu memasuki gerbang rumah yang sejak tadi dibukakan untuknya. Setelah berterima kasih kepada satpam yang bertugas jaga, laki-laki berwajah blesteran Jawa-Timur Tengah itu segera mengetuk pintu. Beberapa menit kemudian, seorang wanita yang masih terlihat muda sudah berdiri di belakang pintu untuk menyambut putra sulungnya.

"Tumben baru pulang, Ar."

"Pekerjaannya baru selesai sekarang, Ma," balasnya mencium punggung tangan yang mulai mengerut.

Wanita tadi langsung mengajak putranya masuk, mengambil teh hangat di dapur dan membawanya ke kamar laki-laki yang bernama lengkap Habiburrahman Arfan Al-Ghafiqi.

"Terima kasih, Ma," tuturnya yang baru selesai melepas jas khusus dan digantung di belakang pintu.

"Rumah sakit lagi ramai ya?" tanya wanita yang berstatus ibu itu. Kini dia tengah duduk di sofa tak jauh dari tempat Arfan.

Laki-laki itu juga mendudukkan dirinya di sofa, menyeruput teh hangat yang baru saja dibuat untuknya. Aroma melati dari minuman itu sukses menghilangkan penat yang sempat dia rasakan.

"Ya, seperti biasa, Ma. Cuma, tadi aku nunggu hasil pemeriksaan laboratorium keluar."

Wanita itu hanya mengangguk paham. "Ada kasus baru lagi?" tanyanya yang sudah terbiasa dengan masalah yang sering dihadapi Arfan sebagai seorang dokter hematologi. Kalau Arfan mengatakan pemeriksaan laboratorium, berarti ada pasien yang mengidap penyakit serius.

"Iya, Ma. Dia perempuan, usianya sekitar 21 tahun, mengidap kelainan darah dari orang tuanya. Kemungkinan besar, ibunya juga punya riwayat yang sama, dan akhirnya diwariskan kepada anaknya."

"Thalasemia?" tebak sang mama.

Arfan mengangguk pelan. Raut wajahnya berubah, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya khawatir. Wanita itu langsung teringat sesuatu. Penjelasan Arfan tadi membuatnya ingat pada seseorang, sahabat lamanya yang juga mengidap penyakit yang sama dengan dugaannya tadi.

"Dulu, Mama punya sahabat. Dia baik sekali, orangnya cantik, pinter. Setelah lulus S3 dia langsung nikah, jadi Mama lebih dulu nikah daripada dia. Sahabat Mama itu tidak tahu kalau dia mengidap thalasemia mayor, dan meninggal ketika melahirkan bayi pertama mereka," cerita sang mama.

Arfan yang mendengarnya turut berdukacita, ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga sahabat mamanya itu. Juga, keadaan anak yang harus ditinggal ibunya bahkan sebelum dia melihat dunia.

"Lalu, bayi itu bagaimana Ma?"

"Dia dibesarkan oleh papanya, sendirian. Padahal waktu itu Mama udah nawarin biar Mama yang ngerawat dia, tapi papanya menolak," ujar wanita itu memandang langit-langit kamar. "Seingat Mama, waktu itu usia kamu baru empat tahun."

Arfan juga teringat sesuatu. Ekspresinya berubah ketika mengenang kembali momen itu. "Jangan bilang kalau anak itu si debay, anak yang sempat aku cium pipinya?"

"Ternyata kamu ingat, Ar," imbuh mamanya.

Arfan mengulum senyumnya. Rindu akan masa itu kembali menghampirinya. "Pasti sekarang, dia sudah tumbuh jadi wanita yang hebat. Tumbuh dewasa tanpa seorang ibu di sampingnya. Semoga aku bisa bertemu lagi dengan debay."

Surgaku Kamu [SELESAI] ✔️Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt