Part 16 : Belajar

378 47 0
                                    

Bismillah

✾ ꙳٭꙳ ❉ ꙳٭꙳ ✾

"Dimaafin nggak?" tanya Yazid untuk yang ketiga kalinya dengan mulut penuh makanan. "Aira?"

Dengan tangan yang masih mengaduk makanan, Humaira menyahut dengan anggukan kepala. "Aku nggak marah, Kak. Kak Yazid nggak usah minta maaf."

"Terus kenapa dari tadi nggak berani lihat sini?" tanya Yazid lagi dengan badan yang sudah ditegakkan.

Humaira tidak menjawab. Gadis itu malah mengeluarkan napasnya panjang. Dia mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk, menatap laki-laki yang sudah melihatnya sejak tadi.

"Kalau ada yang masih mengganjal, keluarin aja. Mau itu rasa kesal, marah, mau pukul juga nggak papa, Ai. Kalau itu bisa buat hati kamu lega, lakuin aja." Yazid mengatakan itu dengan tulus. Mengetahui gadis itu akan terus diam, tangan kanannya menarik tubuh itu ke dalam dekapannya.

Humaira menenggelamkan wajah di dada bidang suaminya, tanpa mengeluarkan suara apapun. Jujur, saat ini dia tidak tahu mau ngomong apa. Sebenarnya Humaira tidak marah, sama sekali tidak. Hanya saja, dia merasa tidak nyaman melihat Yazid bersama sahabat lamanya itu.

Untuk kalimat Yazid tadi, Humaira tidak mungkin melakukannya. Bagaimana bisa dia tega menambah luka pada laki-laki itu?

Perlahan, Yazid mengurai pelukannya. Dia menempelkan tangan kanannya di wajah Humaira dan mengelusnya pelan. Pandangan matanya tidak sengaja tertuju pada tangan Humaira yang dibalut kasa. Balutan yang seharusnya berwarna putih itu kini sudah menjadi merah gelap.

"Telunjuknya kenapa?" Yazid mengamati tangan itu kemudian membuka balutan kasa itu. Pupilnya melebar setelah melihat luka yang menganga di sana.

Humaira juga melihat tangannya. Dia baru menyadari kalau lukanya akan menjadi seperti itu. Mungkin karena remasan tangannya tadi.

"Aira? Tangannya kenapa bisa luka gini?" tanya Yazid menunggu suara keluar dari mulut gadis itu.

"Kena pecahan piring, Kak. Pas mau cuci, tiba-tiba piringnya jatuh. Terus aku mau bersihin, eh malah kegores," jawab Humaira dengan suara kecil. Helaan napasnya terdengar berat setelah menyadari bahwa kejadian itu sebagai isyarat kalau terjadi sesuatu.

"Kita cari asisten aja, ya." Yazid mengambil sebuah kotak di dalam laci dan mengeluarkan isinya. Dengan cekatan, dia mengobati telunjuknya Humaira hanya dengan bantuan tangan kiri dan mulutnya.

"Aku nggak apa-apa, Kak." Humaira membantu Yazid melilitkan kasa pada telunjuknya.

"Biar kamu nggak kewalahan kalau ngelakuin semua pekerjaan rumah."

"Tapi Kak--"

"Aira ..." Suara Yazid memotong kalimatnya. "Aku tahu impian kamu ketika sudah menikah. Kamu nggak mau pakai asisten rumah tangga kan?"

Humaira meluruskan pandangannya, mengiyakan pertanyaan Yazid tadi lewat tatapan matanya. Pasti papanya yang menceritakan mimpinya itu. Humaira memang tidak pernah berniat untuk mencari asisten rumah dengan alasan agar setiap pekerjaan rumah dia sendiri yang urus. Gadis itu mengidamkan rumah tangga sayyidah Fatimah, yang bisa mengurus semua keperluan keluarga dengan tangannya sendiri. Humaira ingin agar setiap perbuatannya menjadi ladang pahala untuk dirinya.

"Tapi ngeliat kamu kayak gini, aku jadi merasa bersalah, Ai. Sebagai seorang suami, aku nggak mau liat istriku kecapekan karena mengurus semuanya sendiri," sambung Yazid setelah meletakkan kotak itu pada tempatnya. "Dari pagi harus bersih-bersih, nyiapin sarapan, terus kuliah. Pulangnya pasti capek, nggak ada waktu istirahat karena harus kerjain pekerjaan yang lain. Belum lagi ngurus anak, nanti."

Surgaku Kamu [SELESAI] ✔️Where stories live. Discover now