Bagian Empat: Ide Yang Buruk

Start from the beginning
                                    

Atha mengangkat sebelah alisnya. Kariza?perempuan itu mengingat-ingat sebentar hingga akhirnya, seperti ada sebuah lampu berkelip diatas kepalanya―Atha mengingat semuanya dalam sekejap. Dan detik itu juga, rasanya Atha ingin menjedotkan kepalanya ke tembok sampai hilang ingatan saking malunya.

Seperti bisa membaca ekspresi Atha yang diluar kesadarannya berubah dengan cepat―Kariza menyeringai lebar. Seolah menikmati pemandangan didepannya.

"Lo hutang budi sama gue, Athalia. Punggung gue pegal-pegal karena harus gendong lo sampai kemari―dan lo udah ngerusak kaos favorit gue dengan muntah tiba-tiba."Kariza mengatakannya sambil menoyor dahi Atha kebelakang pelan. Mata hazelnya menatap Atha di manik mata dengan tajam, rautnya terlihat kesal sekaligus lelah.

Begitu Kariza kembali beranjak berdiri, menaruh sebuah kaos―yang sejak tadi dia pegang―kesebelah pundaknya. Atha yang tanpa sadar menahan nafasnya kini bisa bernafas lega.

Matanya mengikuti gerak-gerik pemuda itu dengan sedikit tanda tanya dibenaknya. Kariza yang barusan dengan Kariza yang bertemu dengan Atha di taman itu seperti seseorang yang berbeda kepribadian.

Bagaimana bisa seseorang bisa berubah dengan drastis? Atha geleng-geleng, mungkin yang barusan itu kedok aslinya Kariza.

"Tapi," Atha menatap sebelah telapak tangannya. "Apa katanya tadi?dia gendong gue?"lanjutnya bersamaan dengan pintu kamar mandi didalam kamar yang sengaja ditutup keras oleh Kariza begitu dia berjalan memasukinya.

Atha menoleh keluar jendela. Pantas saja daritadi dia seperti mendengar suara air. Rupanya diluar sedang hujan cukup lebat. Atha bangkit dan berjalan menuju jendela kamar―yang sepertinya adalah kamar Kariza.

Sepasang matanya memperhatikan langit yang gelap. Bintang banyak bertaburan di langit malam, menyebabkan langit terlihat indah. Suatu hal yang jarang Atha temui di kota asalnya. Selain itu, hal lain yang membuat Atha terpesona adalah rumah Kariza yang posisinya sangat strategis―bahkan pelabuhan dan laut pun bisa terlihat jelas dari sini.

Kedua alis Atha terangkat saat mengingat Faust yang belum kembali. Makhluk bersayap itu. Apa mungkin―dia sedang mencari Atha di luar sana?

Atha menggelengkan kepalanya pelan. Faust pasti bisa dengan mudah menyusulnya kemari hanya dalam hitungan detik memakai sihirnya. Lantas apa yang membuat dia begitu lama menyusul Atha?bahkan jarum jam disudut dinding kamar Kariza menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

Perempuan bermata coklat itu membalikkan badannya. Melihat-lihat sekeliling kamar Kariza yang hebatnya, jauh lebih rapih dari kamar Atha sendiri.

Bisa dibilang, ukurannya juga lumayan luas. Tapi dengan penambahan ornamen-ornamen modern di langit-langit dan temboknya―kamar Kariza terasa lebih luas dari aslinya. Buku-buku tersusun rapih di rak yang menjulang cukup tinggi. Bingkai-bingkai foto diletakkan di meja pendek persis disamping raknya, sementara seragam putih abu-abu pemuda itu tergantung di tembok. Dibalik pintunya juga terdapat beberapa poster band the beatles era 80-an.

Begitu selesai melihat-lihat, perut Atha kembali berbunyi. Dan disaat yang sama―rasa perih itu timbul lagi. Mata Atha berbinar melihat segelas air mineral dengan sepiring roti isi diletakkan di meja persis sebelah kasur. Tanpa banyak berpikir lagi, dia dengan lahap meraih roti isi tersebut dan mengunyahnya setelah sebelumnya berdoa lebih dulu.

"Athalia. Kamu disini rupanya."

Yang merasa dipanggil spontan berjengit kaget. Atha yang sedang asik dengan makanannya hampir dibuat tersedak dengan kemunculan Faust yang tiba-tiba dibelakangnya.

"Faust, lo hampir buat gue mati tersedak."omel Atha sambil berkacak pinggang. Mulutnya yang masih penuh dengan roti isi membuat Faust tidak bisa sepenuhnya mengerti ucapan perempuan itu.

Replaying UsWhere stories live. Discover now