30. Selfishness and regret

58 3 0
                                    

"Apa yang Mommy lakukan setiap hari?" Zavel bertanya pada Ibunya yang tengah sibuk memijat kepalanya.

Kirei tersenyum singkat. "Siang hari, aku menjadi guru menyanyi. Lalu bekerja paruh waktu menjadi pelayan di kafe saat malam hari."

Zavel membelalakkan matanya, dia sampai memutar tubuh menghadap ke belakang. "Mommy tidak boleh kerja terlalu keras. Harusnya tinggal di rumah saja, membereskan kamar Zavel, lalu memasak, dan menjadi Nyonya besar."

"Kenapa begitu?" Kirei memeluk putranya kemudian mengecup keningnya. Dia hampir lupa putranya yang mungil sudah tumbuh sebesar ini, tapi tetap terlihat menggemaskan baginya. "Aku bisa mati kelaparan kalau tidak bekerja di negara besar ini. Kenapa Zavel terdengar sangat manja?"

"Aku manja sama Mommy aja, kapan lagi aku bisa kayak gini."

"Iya aku yakin kamu juga tidak akan semanja ini sama Ayahmu." Kirei tersenyum.

"Tapi sungguh Mommy tidak boleh bekerja lagi," Zavel menggeleng.

Tidak bertemu sang Ibu dari kecil membuat Zavel bertingkah sangat manja. Selama delapan belas tahun dia hanya bisa menatap foto yang tergantung di dinding ruang tamu.

Zavel tidak pernah menikmati hidupnya dengan baik. Tidak, walaupun terlahir sebagai pewaris tunggal, tampan, jenius, apapun yang dia mau pasti terpenuhi. Namun nyatanya, dia selalu mengeluh pada sang pencipta karena membuat jarak di antara dirinya dan Ibunya. Menghadirkan penderitaan untuk Ayahnya yang membuatnya mati perlahan-lahan dalam penantian tanpa kepastian.

Seseorang bisa hidup tanpa makan dan minum. Setidaknya mereka akan mati dengan senyuman dan tanpa ada rasa beban dalam hatinya. Namun jika saja Zavel tidak pernah bertemu dengan Ibunya. Derjov akan terus dihantui tanda tanya besar dalam hidupnya.

Di mana Kirei? Kenapa dia pergi begitu saja?

Rumah besar itu sangat sepi, Zavel sendiri yang mendengar Ayahnya sering mengigau soal Kirei. Saat itu usianya baru tujuh tahun, tidak berani mendekat atau membangunkan Ayahnya. Anak itu hanya bisa menangis, lirih. Tanpa ada yang menemaninya atau bertanya kenapa, apa yang membuatnya sedih.

Zavel tersadar dari lamunannya saat Kirei mengusap pipinya yang basah. "Maafkan Mommy sayang," ucapnya kemudian kembali memeluk Zavel.

Zavel terdiam kali ini, "Kenapa kamu harus meninggalkan Derjov?"

Kirei menatap Zavel terkejut.

"Kenapa kamu harus hidup sendirian? Nyatanya kamu juga tidak bahagia kan? Kenapa semuanya tidak kamu biarkan kembali seperti semula. Kita semua bisa hidup bersama dengan damai."

Pelukan Kirei perlahan terlepas, untuk memahami kata-kata Zavel saja terasa sulit untuknya.

"Mom! Dengarkan aku!" Zavel memegang pundak Ibunya, menarik dagu Ibunya pelan agar menatap matanya yang sudah basah akan air mata. "Pulanglah... tidak ada yang bahagia dengan kepergianmu. Kamu harus pulang denganku, Mommy... aku mohon."

Zavel harus membuat Kirei setuju untuk pulang bagiamana pun caranya. Tujuannya datang ke London harus tercapai, tidak boleh sia-sia.

"Kamu tidak akan mengerti sayang, ini tidak semudah itu atau sesimpel itu."

Kirei masih dengan pendiriannya. Jika dia pulang, maka Derjov akan tahu semuanya. Semua masalah yang akan membawanya ke sebuah masalah yang lebih besar. Jadi lebih baik semuanya begini, Kirei memilih lenyap dari kehidupan Derjov dan memulai hidup masing-masing.

"Tidak Mom... Ryeonji datang untuk membawa Mommy pulang, kita akan hidup bersama. Semua masalah bisa dibicarakan baik-baik, bukannya terus menghindar." Sementara Zavel juga tidak akan berhenti sebelum mempertemukan kedua orang tuanya. Tidak akan pernah, sebelum dia bisa melihat keluarganya kembali bersatu.

Can You Love Me? .endOnde histórias criam vida. Descubra agora