Harapan di Shubuh Nan Terang 2

299 40 0
                                    






Sore menjelang. Hari kamis menjadi hari yang paling ku tunggu. Akan ada kajian kitab kuning dari mudir-kepala pondok. Aku yang menyukai bahasa Arab semakin bersemangat dengan pembawaan ustadz yang menyenangkan. Ada saja kalimat beliau yang membuatku ingin terus menambah wawasan.

Sebagai mudabbir. Aku dan teman-temanku memiliki kewajiban tersendiri. Kami harus menyiapkan segala keperluan sebelum kajian. Dari speaker, microfon, sampai mengkondisikan kehadiran seluruh santri.

Setelah semuanya di rasa siap, salah satu dari kami memanggil ustadz dan mempersilahkan beliau untuk masuk dan duduk di tempat yang sudah kami persiapkan.

Kajian di mulai. Kekhasan ust. Addin mulai muncul. Muqodimah-pembukaan yang sangat panjang. Sampai-sampai aku aku berpikir kalau muqodimah ust. Addin setengah panjanya dari isi kajian beliau.

"Satu kesalahan yang kita remehkan saat menuntut ilmu, akan berdampak buruk pada diri kita sendiri saat sudah tidak lagi di pesantren. " kalimat ust. Addin mulai ku catat.

Secepat mungkin, jika tidak, aku pasti ketinggalan.

Hari ini ust. Addin membawakan materi dari kitab Riyadhus Sholihin. Tapi, karena ini baru mulai kitab baru, ust. Addin memberikan poin-poin mengenai penuntut ilmu sebelum benar-benar menuju inti kajian.

"Ketika Allah telah memilih seseorang di muliakan dengan ilmu. Maka Allah akan menempatkannya di tempat ia menuntut ilmu. " aku kembali menggoreskan pena. Masih dengan kekuatan kilat. "Ketika seorang hamba mendapatkan ilmu tiap hari, namun ilmunya tidak mendekatkan dirinya kepada Allah, dan malah makin rusak akhlaqnya, maka inilah indikasi bahwa ilmu yang ia peroeh tidaklah bermanfaat."

Ust. Addin suka berkisah. Selalu ada kisah-kisah yang menggugah kita untuk terus memperjuangkan impian.

"Ketika kita menuntut ilmu. Kita harus memperhatikan adab. Karena sungguh, adab sangatlah berpengaruh terhadap keberkahan ilmu. Terutama pada guru yang telah mengajarkan kita. Guru adalah wasilah kita untuk mendapatkan warisan Rosul. Dari gurulah ilmu itu mengalir tanpa minta di balas. Begitu pula dengan kitab yang kita pelajari. Kita tidak bisa meremehkan kitab yang kita pelajari, dengan tidak meletakannya di sembarangan tempat. Tidak membawanya dengan tangan kiri. Tidak mencoret-coretnya atau bahkan menggambarnya dengan gambar yang tidak pantas. Saat mempelajarinya kita sangat di anjurkan untuk berwudhu, dalam keadaan suci. " aku terus menulis tiap kalimat ust. Addin.

"Selain keduanya, kita juga harus memiliki adab terhadap tempat yang di atasnya kita menuntut ilmu. Dengan tidak berkata kotor dan tidak bermaksiat. Ini termasuk adab. Karena di pondok, di sinilah rahmat dan pengampunan Allah itu di turunkan. Maka, janganlah mengotori tempat menuntut ilmu dengan maksiat."

Kajian terus berlanjut. Kisah-kisah menggugah yang di sampaikan ust. Addin membuka mataku semakin lebar. Membuatku semakin tertarik untuk menyambangi kehidupan impian. Di mana hanya ada aku dan cita-cita yang ku perjuangkan. Tanpa cinta laki-laki yang menggantungkan kepastian. Hanya kami berdua. Aku, dan cita-cita yang akan selalu ku perjuangkan.

Kajian di tutup dengan do'a bersama. Kebiasan baik yang sangat ust. Addin anjurkan bagi kami. Saling mendo'akan saudara.

Setelah sebGian besar santri keluar aula. Aku, Risha dan Bintang masih duduk di tempat yang sama.
Aku mengecek tulisanku yang sempat acak-acakan karena terburu-buru mengejar kalimat ust. Addin.

"Ra," suara berat ust. Aksa tiba-tiba menyerang indra pendengaranku. Aku tidak ingin mendengarnya. Aku ingin jauh-jauh darinya mulai sekarang. Aku lelah. " Zahraaa, mau sampai kapan kamu diam, hah?!" Aku tersentak. Suara yang sama terdengar dari arah pintu.

Ust. Aksa tengah berdiri di depan pintu aula. Mukanya agak kesal. Aku menoleh ke arah Bintang dan Risha yang hanya diam.

"Ikut saya ke kantor. " nadanya tenang. Namun penuh penekanan.

Lalu pergi. Sepertinya kesal. Aku berdecak. Mengeluh protes karena Bintang dan Risha yang tidak memberitahuku kalau ust. Aksa datang.

"Kan anti yang di panggil, kenapa harus aku yang repot." Kalimat Risha menusukku. Dia kenapa?.

"Udah sana, samperin, keburu makin marah." Saran Bintang yang di balas pergerakanku menuju keluar aula setelah menitipkan buku catatanku ke Risha.

Akhir-akhir ini Risha diam. Aku juga tidak tau ia kenapa. Mungkin Bintang tau, mungkin.

Pikiranku kalut saat perjalanan menuju kantor. Aku sedang tidak ingin bicara dengan ustadz muda itu. Terlalu menyebalkan.

Hatiku masih belum benar. Aku ingin berbenah. Hatiku masih sering goyah karena sebuah perhatian. Jantungku makin berdebar. TeringT dengan malam itu.

Malam berselimut kabut. Dingin. Aku berproses dalam menerima intensitas cahaya yang lebih banyak. Retinaku terasa nyeri. Namun gemeretak kawanku memaksaku untul segera merenggangkan segala persendianku.

Setelah menyelesaikan ritual sebangun tidur. Aku kembali ke hujroh-kamar mengenakan mukena dan meraih secarik kertas yang sudah ku siapkan sejak semalam. Do'a istikhoroh. Jujur, dulu aku pernah menghafalkannya. Bahkan menjadi materi ujian kelulusan SMP. Tapi aku lupa. Tidak. Do'a istikhorohlah yang melupakanku.

Setelahnya, adalah bagian yang akan menjadi rahasiaku dan Allah. Tidak ada yang pernah tau. Karena di mushola hanya ada aku, dan bunyi angin yang berdenging melewati celah pintu dan jendela. Sisanya, hanya ada beberapa ekor jangkrik yang berdiam diri di pojokan mushola. Sudah biasa, pondokku jauh dari perkampungan. Kita harus melewati jalan setapak di antara petakan sawah untuk sampai ke pondok.

Mushola menjadi saksi. Bahwa aku telah memasrahkan segala kebimbanganku kepada Rabb semesta Alam. Tentang impian. Atau pernikahan. Yah, dua hal yang sedang merusak kualitas komsentrasiku akhir-akhir ini.

Cinta Dalam Mihrab Taat  (⚠TELAH TERBIT⚠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang