29. Ikhlas.

2.1K 378 28
                                    












Maaf ya baru up😃





Kangen ust. Aksa gak?

Kita ketemu di episode depan yaa😉😉








Beberapa hari telah berlalu, aku benar-benar menghadapi kegelapan ini sendirian. Memang ada bu Mei, bu Sukma serta ayah yang akan selalu merawatku, tapi aku pikir, hadirku di tengah-tengah mereka sudah membuat mereka mendapatkan banyak kesulitan, aku hanya tidak ingin menambah beban.

"Jika mau ke kamar mandi bilang saja pada ibu ya" tegur Bu Mei yang selalu menemaniku. Kadang bergantian dengan bu Sukma.

Aku tidak tahu kenapa aku masih di rawat di sini. Sangat membosankan.

"Bintang hanya buta bu, belum lumpuh." Ucapku, sebelum masuk ke kamar mandi yang ada di kamar inapku.

Bu Mei tersenyum getir. Bagaimana bisa gadis yang pernah ia besarkan itu bsgitu kuat dengan segala cobaany yang ia terima. Mungkin jika dia yang merasakan tak sekuat dirinya.

Aku keluar setelah selesai dengan keperluanku. Lagi-lagi bu Mei menuntunku dan itu membuatku sangat merasa bersalah.

"Sayang, ada yang ingin ibu sampaikan." Ucap bu Mei setelah aku kembari berbaring di ranjangku.

"Ayahmu, memberi ibu wasiat kemarin." Jelas bu Mei yang membuatku sangat terkejut.

"Maksud ibu ? Ayah baik-baik saja kan?!" Tanyaku.

"Ayahmu baik-baik saja sayang, tapi kau tau kan, jarak umur ayahmu dan bundamu sangat jauh, jadi, saat bunda meninggal di umur 45 tahun, saat ini ayahmu sudah cukup tua untuk umur seorang ayah." Jelas bu Mei. Aku mengangguk paham.

Saat bunda meninggal, umur ayah sekitar 57 tahun, perbedaan umur ayah dan bunda dua belas tahun. Aku baru benar-benar sadar ayah sudah mulai termakan umur.

"Lalu?" Tanyaku lagi.

"Ibu tidak bisa membacakan surat wasiatnya sekarang, nanti akan pengacara ayahmu yang membacakannya." Lanjut bu Mei.

Aku mengangguk paham.

Seperti biasanya, aku meminta tolong pada bu Mei untuk menyalakan murottal dari ponselku. Bu Mei mulai faham dengan kebiasaanku.

"Kau sangat menjaga hafalanmu ya."

Aku mengangguk.

"Seperti ibu menjaga janin di rahim ibu" ujarku.

Bu Mei terdiam. Seperti tidak faham dengan kalimatku.

"Jika kita punya hafalan al qur'an, walaupun sedikit, kita harus menjaganya seperti ibu yang menjaga janin di rahimnya. Ibu tahu kan rasanya, kita sangat menjaga, berhati-hati dan sangat takut kehilangannya." Jelasku.

"Setelah janin itu lahir. Ibu pasti akan sangat menjaga bayi itu dan merawatnya hingga besar kan" lanjutku.

"Tapi ada ibu yang tidak baik Bin, ibu yang menelantarkan anaknya." Ucap bu Mei.

Kalimat bu Mei sedikit menusuk hatiku. Benar. Itulah ibu yang kurang baik. Seperti penghafal al qur'an yang belum baik.

"Itu seperti penghafal al qur'an yang menelantarkan hafalannya sendirikan?" Tanyaku.

"Iya," jawab bu Mei.

"Di luar sana, banyak orang yang ingin bisa menghafal al qur'an tapi tidak di izinkan orang tua, tidak memiliki waktu, atau berbagai alasan. sedangkan kita yang di beri nikmat izin dan nikmat waktu tapi masih menelantarkan hafalan kita, sama saja kita tidak bersyukur, dan tidak bersyukur adalah salah satu penyebab tidak bahagianya seseorang. " jelasku.

"Nak, terima kasih ya, darimu ibu belajar berbagai hal." Ujar bu Mei.

Aku tersenyum. Aku hanya ingin menyampaikan kebaikan.

"Tentang sabar, bersyukur, ikhlas, tidak mendendam, dan menerima kesalahan krang lain."

"Tidak bu, itu nikmat Allah, berterima kasihlah pada Allah." Ucapku.

"Ya, sifat baikmu adalah nikmat Allah yang sangat berharga, ibu sangat bersyukur menerimamu saat itu."  Ucap bu Mei.

Bu Mei pasti tau orang tuaku. Hanya bu Mei tidak memberi tahuku. Dan untuk saat ini, aku belum ingin tahu siapa orang tuaku.

"Bintang, apa urusanmu dengan Zaen sudah selesai?" Tanya bu Mei tiba-tiba.

"Mkasud ibu?"

"Bu Sukma sudah bicara, maafkan nak Zaen yah,,"

Aku terkekeh, memaafkan memang mudah, hanya saja soal melupakan itu sedikit sulit. Karena kenangan tidak akan pernah bisa berubah.

Ketika ada sebuah ranting yang patah karena angin. Ranting itu akan tetap patah walau angin telah meminta maaf.

Tapi berbeda dengan Allah. Allah tidak memerintahkan hambaNya untuk meminta maaf bila salah. Tapi memaafkan. Karena hati yang lapang, akan lebih mudah menerima kebaikan.

Tapi, sebagai hamba yang baik, sudah pastinya kita harus berani meminta maaf bila salah. Jangan malu. Gengsimu hanya akan menyulitkanmu.

"Masalah yang mana bu? Kita tidak pernah punya masalah." Tanyaku.

"Bukankah kalian,," kalimat bu Mei ku potong dengan hati-hati.

"Bu,, masalah sudah selesai. Kak Zaen sudah menikah dengan 'Aaisya. Dan aku tidak akan merusak hubungan pernikahan seseorang hanya karena keegoisanku. Biarlah Allah melimpahkan banyak rezeki pada mereka. Bintang baik-baik saja" jelasku. Bu Mei diam di tempatnya.

Bintang baik-baik saja.

Maafkan Bintang yang terus berbohong ya Allah.

"Tapi,, kamu sudah melupakan Zaen kan?"

Aku menggeleng.

"Kenapa?" Tanya bu Mei yang merasa aneh dengan jawabanku.

"Perasaan tidak akan pernah hilang bu, hanya berkurang. Dan rasa harap itu sudah berkurang dan perlahan-lahan pasti memudar. Dan biarkan rasa harap itu pergi dengan baik-baik."

Aku teringat dengan sebuah kalimat yang aku tulis di diaryku.

Bukan ikhlas bila masih ada rasa sakit

Bu Mei mengelus  tanganku yang tidak di infus.

"Keluarga pak Raga?" Seseorang membuka pintu dengan nafas yang tergesa-gesa. Sepertinya perawat.

Bu Sukma mengiyakan.

"Tolong ibu segera datang ke bangsal pak Raga." Pinta perawat tersebut.

Aku terkejut.

"Ada apa bu?!" Tanyaku.

"Kamu baik-baik di sini sayang, ayahmu pasti baik-baik saja."

Ucap bu Mei menenangkan. Tapi sama saja. Aku tetap khawatir.

Ya Allah, jagalah ayahku.
















































Ust

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ust. Rakha jahat ya🤧

Cinta Dalam Mihrab Taat  (⚠TELAH TERBIT⚠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang