23. Gelap

2.1K 418 18
                                    










Malam terasa panjang.  aku mendengar isakan.  setelah mimpi indah yang terasa begitu nyata, aku lagi-lagi terlelap di antara kegelapan yang tidak ada seorangpun menginginkannya. Selebar apapun aku membuka mata, semuanya sama saja.

Aku telah membuka mata, tapi sama saja, hanya gelap yang di rasa, aku tau, ada seseorang yang terisak di sisiku. Aku merasa terbaring di sebuah ranjang. Tangan kananku terasa nyeri setiap di gerakkan terlalu banyak.

Aku nemilih diam. Menenangkan diriku. Mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja. Ini bukan hal pertama bagiku. Ini bukanlah sesuatu yang berat. Aku hanya harus melakukan segalanya seperti dulu. Tanpa cahaya.

"Maafin ibu nak,," isakan bu Mei terdengar begitu pilu.

"Bintang ga papa, ga perlu minta maaf" ucapku. Entah berapa kali aku mendengar permintaan maaf bu Mei.

Aku ikut sedih. Jelas-jelas bu Mei tidak bersalah apa-apa. Ah, ya, tidak ada yang bersalah atas kejadian ini. Ini adalah taqdir. Dan taqdir tidak pernah salah alamat.

Sekarang yang ada di pikiranku adalah satu. Ust. Rakha. Bukan karena aku patah hati. Bukan karena aku pupus harapan. Tapi tentang memberi harapan yang tidak pasti. Sebagai laki-laki yang mengerti agama, tidak sepantasnya.

Bukan berarti orang yang banyak ilmunya harus sempurna. Tidak, tapi lebih ke sebuah ikhtiyar. Jika di rasa harapan ini tidaklah akan tercapai, maka jangan memberi harapan. Itu hanya akan melukai. Bukan hanya hati. Tapi kadang juga pikiran.

Tidak sedikit orang-orang membenci sesuatu yang mirip dengan sesuatu yang di benci. Seperti seseorang yang pernah di patahkan oleh seorang  dokter, tidak jarang ia akan membenci atau tidak mau membuka hati kepada dokter lainnya. Tidak hanya melukai hati, tapi juga pikiran. Bukankah semua dokter itu tidak sama?.

Tapi ini tidak seluruhnya kesalahan ust. Rakha, aku yang sebenarnya salah melobi hati. Kenapa dengan mudahnya aku percaya pada sebuah kata-kata. Bahkan kata-kata bisa berdusta. Aku yang salah menghandle hati. Terlalu mudah mempercayai.

Aku menghela nafas beberapa kali. Bu Mei masih terisak. Tak lama bu Sukma datang. Hatiku semakin berat rasanya. Mungkin inilah rasa yang pantas karena aku berharap pada makhluq.

"Bu Mei, ibu pulang saja, biar saya yang menjaga Bintang." Ajak bu Sukma, awalnya bu Mei menolak, tapi bu Sukma tidak pantang menyerah dan terus membujuk bu Mei hingga bu Mei bersedia pulang.

Saat ini hanya aku dan bu Sukma di sini. Bu Sukma tidak tahu apa-apa. Aku tidak boleh melakukan hal yang tidak sepantasnya.

"Bu," panggilku. "Ini tanggal berapa?" Tanyaku.

"Delapan belas. Ada apa?" Jawab bu Sukma yang baru saja duduk di kursi samping ranjangku.

Aku menghela nafas. Sudah lima hari aku di sini. Bau obat benar-benar membuatku bosan.

Ust. Rakha sudah menikah lima hari yang lalu. Sebuah kenyataan yang sangat membuatku tersadar, cinta manusia hanyalah sementara.

"Ada apa Bintang? Apa ada yang sakit?" Tanya bu Sukma yang terlihat khawatir melihatku terdiam.

Aku menggeleng. Tak ingin bicara lebih banyak.

Tiba-tiba aku merindukan teman-temanku.

"Bu, Bintang ingin bertemu teman-teman Bintang." Ucapku.

Bu Sukma menyanggupi dan keluar ruangan untuk menelvon pihak pondok.

"Kata pihak pondok, cukup dua orang saja, katanya mereka yang dekat denganmu?" Bu Sukma sudah kembali masuk dan duduk.

Aku mengangguk.

Zahra dan Risha.





_o0o_


Rumah sakit ini hanya berjarak setengah jam dari pondok jika menggunakan mobil.

Zahra dan Risha sudah di depan rumah sakit kata bu Sukma.

Tak lama Zahra dan Risha masuk ke dalam kamarku. Mereka berhambur memelukku. Air mata yang sendari tadi ku tahan akhirnya tumpah juga.

Ya Allah, jagalah sahabat-sahabatku. Yang sudah mengetahui aibku tapi tidak membenciku. Jagalah sahabat-sahabatku yang merengkuhku saat tak seorangpun mengulurkan tangannya kepadaku.

"Kamu baik-baik aja kan Bin?" Tanya Zahra.

Aku mengangguk.

Bu Sukma sudah keluar tadi. Memberi kita ruang sendiri.

"Tadi itu, ibunya ust. Rakha ya?" Tanya Risha.

Aku mengangguk.

"Pantas mirip" ucap Risha.

Ia mengusap air matanya. Entah kenapa setelah mata ini kembali menggelap seperti dulu, indra perasaku begitu tajam.

Itulah Allah dengan segala keagunganNya. Satu nimmat yang Allah cabut dari hamba, maka Allah akan memberi nikmat lain. Jika hamba itu mau bersyukur.

"Maafin aku Bin, harusnya aku ga bawa undangan itu ke depanmu." Ucap Zahra merasa bersalah. Aku bisa membayangkan wajah menyesalnya.

"Masku sih, undangannya di tinggalin." Lanjut Zahra. "Oh, ya, aku baru tau, ust. Rakha itu, satu angkatan sama masku pas kuliah di Indonesia, mereka dekat. Jadi ya gitu,, aku baru tahu kemarin." Jelas Zahra. Aku mengangguk paham sembari tersenyum.

"Ust. Rakha kurang ajar ya, udah bilang mau memperjuangkan anti malah nikah sama orang lain." Kesal Risha.

"Udahlah, mungkin ada alasan lain" ujarku.

"Tapi kamu bukan karena patah hatikan kaya gini."

Aku menggeleng kuat-kuat. Aku tidak selemah itu.

"Ini taqdir Rish."

Sebenarnya akupun tidak tahu kenapa aku begini.

Kami berbincang-bincang dengan santai di dalam kamar.


Aku tidak tahu, jika di luar sana ada seorang ibu yang begitu menyesal memaksa putranya menikah. Jika tidak, mungkin seorang yang sudah ia anggap putrinya sendiri pasti sekarang akan baik-baik saja.






















































































Aku mau cerita sedikit, sebenarnya alur kisah ini di ambil dari kisah kakak kelasku. Tapi kakak kelasku bukan anak yatim atau apa yg ada di Bintang, cuman alurnya, gituu😅😅 aku terinspirasi dari sabar gitu menghadapi hidup😇😇

Ya gitu aja

Semoga bermanfaat.

Cinta Dalam Mihrab Taat  (⚠TELAH TERBIT⚠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang