07. Mengikhlaskan

3.5K 543 11
                                    




"Belum bisa di katakan ikhlas bila masih ada rasa sakit. Tidak bisa di katakan sabar bila masih ada batasnya. "

Aku menuliskan beberapa patah kata di atas diaryku. Rasanya tulisanku tak masuk ke dalam opsi kegalauanku akhir-akhir ini.

Mungkin tentang wafatnya bunda yang entah aku tak tau sebabnya. Tapi aku telah menganggap bahwa bunda adalah bunga paling indah di antara bunga-bunga yang lain, karena itu Allah mengambilnya lebih dulu. Dan aku telah ikhlas akan hal itu.

Sabar? Bahkan kini aku telah melihat dunia. Begitu bahagianya aku sampai-sampai aku rasa tak ada lagi yang aku inginkan sekarang. Lalu, kenapa di kepalaku terbesit kata sabar.

Entahlah, aku menutup diary ku, hari ini us. Verda datang lebih awal dari biasanya. Mata pelajaran yang sangat aku sukai akhirnya datang lagi. Fiqih. Us. Verda datang bersama Nabhan, putranya yang belum genap berumur setahun. Biasanya Nabhan bersama abinya, ust. Vriyan. Mungkin ust. Vriyan sedang sibuk hingga akhirnya Nabhan ikut us. Verda.

"Seperti biasa di hari sabtu, ustadzah tidak akan menambah materi, tapi ustadzah akan mempersilahkan siapa saja untuk bertanya soal fiqih." Jelas us. Verda sembari menepuk-nepuk putranya yang mulai tertidur.

Aminah, si santri yang duduk di meja paling depan  tepat di depan ustadzah, mengangkat tangan. Risha yang duduk tepat di belakanganya mencebik. Dasar Risha.




                             _o0o_  





Ust. Rakha merebahkan tubuhnya di atas dipan. Sebuah ruangan berukuran 2×3 meter itu ia tinggali sendirian. Lusa akan datang ustadz baru untuk menemaninya.

Rakha menerawang ke masa kecilnya. Di saat umurnya baru tiga belas tahun dan sering menemani ibunya mengajar di sebuah panti asuhan.

"Kak Zaen, bacain Shella buku cerita ini." Seorang anak kecil berumur empat tahun merengek pada Zaen yang baru datang.

Dengan senang hati Zaen membacakan buku dongen tersebut. Beberapa anak ikut berkumpul mendengarkan.

Tak jauh darinya seorang gadis kecil memeluk boneka tedy bearnya dan ikut mendengarkan Zaen membaca cerita. Ia tersenyum. Sangat bersyukur masih bisa mendengar ketika masih banyak di luar sana yang tidak bisa mendengar.

Setelah Zaen selesai membacakan cerita. Gadis itu menjauh, ia duduk di atas ayunan kayu di samping panti asuhan.

"Hai cantik." Sapa seorang lelaki.

Gadis itu menoleh, walau sama saja ia tak bisa melihat siapa yang datang. " kenapa sendirian? Ayo main" ajak Zaen.

"Bintang sini aja." Tolaknya baik-baik.

"Namamu Bintang?"

Ia mengangguk.

"Mau kakak ceritakan tentang Bintang?" Lanjutnya. Bintang mengangguk." Ayo turun, kita main dengan teman-temanmu yang lain." Ajak lelaki itu, Bintang mengangguk, turun dari ayunan dan berjalan di sisi lelaki itu dan menumui teman-temannya.

"Tok tok tok"

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Rakha. Sebuah suara salam terdengar dari balik pintu. Setelah mejawab salam tersebut Rakha segera membuka pintu.

"Afwan ustadz ini makan siang dari dapur."  Jelas seorang santriwati yang Rakha tau kelas satu. Rakha mengangguk, lalu menerimanya.

"Hanikan?!" Tanya Rakha yang di jawab anggukan. "Jazakumullah khoiron Hani." Ucap Rakha.

"Waiyyakum ustadz." Balas Hani dan segera pergi. Ia takut ada fitnah jika berlama-lama di depan kamar ustadz.

                              _o0o_

"Bintaaaangg" Panggil Risha.

Manusia satu ini memang sangat berisik. Tapi aku benar-benar menyukainya. Aku menutup sebelah telingaku mendengar suara melengkingnya. Zahra hanya menggelengkan kepalanya. Kami sedang berjalan menuju pintu gerbang. Hari jum'at santri bebas keluar komplek.

"Mau kemana?" Tanya Risha sembari merangkulku.

"Kemana aja Rish, asal ga ketemu ust. Rakha, ya gak Bin?!"jawab Zahra asal dan aku hanya mengendikan bahu. Malas.

"Ehhh,,, tunggu, itu ust. Rakhakan, ngapai sama si kutu kupret.?!!" Tanya Risha menghentikan langkah kita.

Aku menepuk mulutnya kesal. Dia malah terkekeh dan mejauh.

"Ngapain berduaan sama si Aminah." Lanjut Zahra.

Ust. Rakha terlihat berbincang dengan Aminah di parkiran motor. Aku mengernyit. Hei, itu sangat mengundang mulut-mulut tak bertanggung jawab. Apa lagi ini tempat sepi karena hampir masuk waktu sholat jum'at.

"Males, ah," ujarku meninggalkan Zahra dan Risha. Ada sebuah perasaan yang menusuk di dadaku. Entahlah, aku benar-benar malas melihat mereka.

"Bukan ikhlas bila masih ada rasa sakit. Bukan sabar bila masih ada batasnya." Seru Risha dari belakangku.

Hei, itu quotes milikku.









Jangan lupa voment ya,,,

Cinta Dalam Mihrab Taat  (⚠TELAH TERBIT⚠)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang