51. Peluang

1.4K 434 232
                                    

"Setiap tindakan memiliki peluang. Kecil atau besarnya bisa dicapai, semuanya tergantung kuasa Tuhan."
IQ (F = m.a)

"Dia sudah sadar."

Ucapan dari seorang suster muda yang baru keluar dari ruangan Bora mengundang perhatian semua orang yang hampir seharian ini menunggu. Orang pertama yang masuk ke dalam ruangan adalah Chelzea. Dia kemarin diberitahu oleh Utkarsa tentang Bora, tentang segalanya.

Chelzea menghapus air matanya, membuka pintu dan mulai berjalan masuk. Di sana, terlihat putrinya yang tidak pernah dia lihat secara jelas dari dekat sedang berbaring lemas seraya menatapnya dengan sendu.

"Ibu di sini," buka Chelzea, tangannya membelai Bora dengan lembut.

"Ibu...," panggil Bora, untuk pertama kali di hidupnya.

Bora tersenyum simpul, senyuman pertama yang Chelzea lihat dengan jelas. Senyuman yang dapat menyakiti hati Chelzea dengan penyesalan. Faktanya, waktu itu Chelzea terpaksa. Terpaksa menukar anaknya.

Dia tidak ingin anaknya menderita seperti dirinya. Apalagi, Chelzea biasanya melakukan pekerjaan di tengah teriknya matahari setelah suaminya meninggal pada saat usia kandungannya masih tujuh bulan. Chelzea tidak ingin Bora membantunya karena Bora seorang albino. Dia tidak ingin menyiksa Bora.

"I'm so sorry, for everything."

Bora menggeleng pelan. Sedangkan, Chelzea mulai mengeluarkan air matanya, lagi. "Can I kiss you?"

Bora mengganguk. "Selalu boleh, Bu."

Chelzea mengecup dahi Bora lumayan lama, air matanya tetap mengalir, membuat Bora ikut meneteskan air matanya. Bagaimana pun, akhirnya Bora bisa bertemu dengan orang tua kandungnya dan dikecup seperti ini adalah salah satu impian sederhananya. Impiannya selama ini adalah bahagia bersama keluarga kandungnya.

Tangan Bora yang sudah lumayan tidak lemas bergerak memeluk tubuh ringkih milik Chelzea. "I love you," ucap Bora.

"I love you more."

"Ibu pasti punya alasan kenapa akhirnya memutuskan untuk memilih pilihan ini. Alasan apapun itu, Ibu tetap ibu Bora. Dan Bora tetap anak Ibu, kan?"

"You always be my daughter. Tapi kamu harus bersama keluarga Ranajaya, ya, Nak?"

"Maksud, Ibu?"

πππ

Sebelum Bora sadar di siang hari itu.

Tubuh Utkarsa kaku ketika Ekadanta memeluknya di taman rumah sakit, terlalu kaku sampai sulit menggerakkan tangannya untuk memeluk balik tubuh Ekadanta. Hanya ada mereka bertiga. Utkarsa, Elee dan Ekadanta. Utkarsa senang, di satu sisi Utkarsa merasa sesak. Terlebih ketika tubuhnya bersentuhan langsung dengan mereka.

"Saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Maaf, tapi kalau boleh jujur pilihan kalian menyakiti saya dan juga Bora."

Ekadanta melepas pelukannya. Tatapan Ekadanta yang bisa Utkarsa tatapan adalah sebuah tatapan penuh rasa bersalah. "Semua orang memang kadang memilih pilihan yang salah. But, the choice you choose is too painful for me and Bora!"

"Karsa, sorry. Forgive me," celetuk Elee dengan lirih.

"I forgive you. Hanya saja, melupakan hal-hal menyakitkan butuh waktu cukup lama. Sorry."

"Kalian tahu? Bora belajar mati-matian untuk bisa hidup bersama keluarga kandungnya. Waktu dia menuai hasil dari semua usaha yang dia lakukan susah payah, justru kalian menjatuhkannya."

IQ (SELESAI)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora