17. Outlook Express

1.7K 467 27
                                    

"Komputer bisa dimasuki oleh virus komputer terlebih jika tidak memiliki proteksi yang kuat. Kalau manusia, bisa dimasuki oleh setan, terlebih jika didukung oleh hawa nafsu sendiri."
IQ (F=m.a)

Pagi jam empat, Xena terbangun dari tidurnya karena nyeri yang menjalar dari perutnya. Xena berlari masuk ke dalam kamar mandi, mengeluarkan cairan makanan yang sempat masuk ke saluran pencernaannya. Dadanya nyeri sekali, sampai bernapas pun rasanya sulit.

Xena terduduk di lantai kamar mandi, tangannya menggapai botol minum yang tadi sempat dibawa dari malas ke sini. Xena meminum air dengan perlahan, membiarkan molekul air menyegarkan tenggorokannya dan menetralisir rasa pahit di lidah.

Xena tidak apa-apa. Xena sehat, hanya saja alerginya kambuh, jadi begini. Dadanya sesak dan perutnya terasa melilit, sangat perih. Untuk berjalan setelah mengeluarkan makanan tadi saja rasanya lemas sekali.

Xena terduduk dengan tangan yang menumpu kencang perutnya lumayan lama, sekitar setengah jam kurang lebih. Selama itu Xena mencuri waktu untuk tetap mencoba terpejam meski sulit sekali rasanya.

Selepas lumayan reda, Xena memutuskan untuk mandi di bath-up dengan air panas tatkala melihat jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul lima.

πππ

Bora melempar modul bahasa Indonesia yang dengan cepat ditangkap oleh Utkarsa, sempurna. Bora berdecih, "Katanya kekurangan lo gak bisa nangkep barang. Itu barusan apa?" katanya seraya duduk di samping Utkarsa, di kursi samping Ukarsa. Mereka berdua sedang berada  di dalam laboratorium komputer.

"Sedang beruntung saja. Aslinya payah."

"Lo ngapain ke sini? Sendirian lagi, Pak Drajat ke mana?" tanya Bora yang sedikit penasaran dengan apa yang sedang Uktarsa lakukan di sini.

"Tadi keluar, adat tamu. Ini saya sedan meng-upgrade komputer ke Windows XP Service Pack 2," jawab Utkarsa.

"Fungsinya apaan?"

"Fungsinya, untuk menghindari adanya virus, worm atau trojan. Nanti Outlook Express akan melakukan blokir attachment yang berpotensi mengandung attachment berbahaya. Lagi masang satpam komputer, istilahnya. Rawan virus."

Bora mengangguk-angguk, tidak paham. "Gak usah dijelasin lebih lanjut deh."

"Oh iya, terima kasih, ya, nanti saya kembalikan tepat waktu." Memang, Bora ke sini disuruh Utkarsa, sebab lelaki ini ingin meminjam modul bahasa Indonesia yang kemarin Bora print.

"Gue bukan perpustakaan," Bora terkekeh sebelum akhirnya mengungkapkan hal ingin dia sampaikan. "Lo ngajar les anak SMP kan?" tanya Bora. Yang langsung dijawab anggukan oleh Utkarsa. "Kenapa memang?"

"Gue mau daftarin adek gue, dong, masih bisa kan?"

Utkarsa yang sedari tadi fokus pada layar komputer kini menengok ke Bora dengan alis yang mengernyit heran, "Sejak kapan kamu mempunyai seorang adik? Saya tidak pernah lihat sewaktu saya mengunjungi rumah kamu."

Bora meringis, ingin menjelaskan akan tetapi kisahnya terlalu rumit. "Intinya gue punya adek kandung. Gausah kepo deh, tugas pelajar itu kepoin materi pembelajaran bukan kepoin keluarga orang, Sa."

Utkarsa mengangguk, paham. "Saya cuma jaga-jaga. Siapa tau suatu saat kita satu keluarga."

Bora bergidik geli, padahal dalam hati sudah kegeeran sendiri. "Ngaco banget." Diikuti kekehan dari mulut Utkarsa yang terlihat sangat kering. Wajar, tidak pernah dirawat.

Bora berdecak, tangannya mengambil lipbalm dari saku seragam sekolahnya. "Bibir lo itu bagus tau, Sa. Sayangnya gak pernah lo jaga. Nih, pake, biar enggak kering."

Utkarsa mengambil lipbalm dari tangan Bora. "Boleh saya pakai?" tanya Utkarsa dengan sedikit keraguan.

"Kenapa enggak boleh? Pake aja. Gak tau cara pakainya?"

Utkarsa menggeleng, "Tau kok, saya sering melihat ibu saya memakai benda serupa setiap kali ingin pergi keluar rumah." Utkarsa mulai membuka tutup lipbalm dan kemudian memakaikannya di bibir. Terasa sangat lembut ketika dipakai.

"Princess," panggil Utkarsa.

"Apaan? Jadi licin ya bibirnya? Buat lo aja lipbalmnya, gue ada banyak."

"Bukan ... ini sering kamu pakai?"

Otak Bora loading sebentar, mencoba untuk memahami maksud pertanyaan ambigu yang dilontarkan Utkarsa. Setelah paham maksud Utkarsa, Bora meneguk salivanya. "Lah kok gue baru sadar sih? Bego banget," gerutunya dalam hati.

"Eh, gue duluan, mau belajar," pamit Bora seraya berjalan terburu-buru.

Utkarsa mengulum senyum tipis, mengucapkan satu kalimat yang berhasil tertangkap oleh telinga Bora meski tidak begitu jelas, tepat sebelum Bora benar-benar jauh dari pandangannya.

Disisi lain Bora yang mendengar ucapan Utkarsa barusan, kembali bergedik ngeri. "Jangan sampe-jangan sampe. Jangan sampe gue suka sama Utkarsa pokoknya, jangan sampe!" rapal Bora dalam hati berkali-kali.

πππ

Kishika berjalan tertatih dengan kedua kaki yang masih diperban meski luka kakinya sudah mengering, tetapi saja luka hatinya akan senantiasa basah sebab selalu diperlakukan tidak adil oleh nenek sendiri. Neneknya itu selalu saja pilih kasih padanya dan Trayi.  Padahal, Trayi tidak jauh lebih baik darinya.

Kishika baru saja selesai membaca ulang buku harian maminya, untuk kesekian kali. Sebab, hanya dengan membaca tulisan seraya membayangkan kisah hidup maminya adalah satu-satunya cara Kishika melepas rindu. Berbicara tentang rindu, perihal kenangan dengan maminya saja Kishika tak punya.

Andai. Andai. Andai.

Kata yang selalu berkeliaran di otak Kishika setiap kali selesai membaca curhatan maminya. Tulisan yang terasa begitu hidup dan terlalu menyakitkan hati Kishika. Dan juga menumbuhkan rasa benci yang makin lama makin kesumat.

Kishika berjalan ke arah dapur yang sepi, tangannya meraih sebuah pisau tajam yang biasa dipakai untuk memotong daging-dagingan. Tatapan Kishika begitu tajam sama seperti tajam pisau di genggamannya.

"Harusnya, Mami masih ada di sini," lirih Kishika. Sebulir air mata jatuh tanpa dia sadari. Wajahnya benar-benar tanpa ekspresi meskipun air matanya bercucuran tanpa henti.

Kishika kembali berjalan, kali ini dia berjalan ke arah kamar Idaline, neneknya. Semakin dekat dengan pintu kamar yang paling megah tersebut, Kishika semakin dapat mendengar obrolan kedua orang yang berada di dalam yang tertawa bahagia.

"Bahagia banget, kedengarannya," monolog Kishika dengan decihannya. Kishika muak mendengar gelak tawa itu. Sebab, dirinya tidak pernah sama sekali sangat berbahagia sampai bisa tertawa lepas.

Kishika mulai membuka pintu kamar. Mendapati Idaline dan Ekadanta di dalam. Ekadanta tersenyum ramah kepadanya. "Eh? Kishika tumben ke sini? Mau ngobrol sama nenek, ya?"

Kishika tak menjawab. Hanya senyum miring yang dia tampakkan. "Ngapain kamu senyum-senyum gitu?" tanya Idaline dengan nada yang tak ramah. "Kamu ngumpetin apa di belakang?" tanya Idaline, penasaran.

Ekandanta menghela napasnya. "Ma, jangan terlalu kasar sama cucu, siapa tau Kishika mau memperbaiki hubungan."

Ekadanta mengelus bahu mertuanya, lalu berjalan ke luar, sebelum itu, Ekadanta sempat mengelus rambut Kishika yang berdiri bersender pada tembok. "Kishika, anak baik," kata Ekadanta sebelum pergi.

Air mata Kishika kembali mengalir saat Ekadanta pergi. Kini, tinggal mereka berdua di dalam. Idaline mendekat, "Ngapain kamu nangis di sini? Saya enggak punya rasa iba."

Sekali lagi, emosi Kishika menaik. Dengan cepat Kishika menusuk perut Idaline dengan pisau di tangannya. "Kishika juga enggak punya rasa iba sama kayak Nenek!"

Idaline terkejut bukan main, tercampur oleh rasa nyeri di perutnya begitu terasa perih, darahnya mulai mengalir ke luar dengan deras terlebih saat Kishika mencabut pisau dari dalam perutnya.

πππ
Baru permulaan konflik pertama, chill;)

IQ (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang