6. Energi Mekanik

3.1K 738 78
                                    

Jangan pernah khawatirin masa depan, ya. Yang harus kamu lakukan adalah percaya pada Tuhan. Namanya juga, masa depan. Tidak ada manusia yang tahu kecuali Tuhan.
IQ (F = m . a)

Utkarsa baru saja selesai merapikan alat melukisnya yang sangat terbatas. Kuas yang sudah tua, cat-cat yang sudah hampir kering tetapi masih bisa digunakan. Utkarsa hanya sebatas melukis di kertas HVS saja. Untuk membeli kanvas, Utkarsa akan berpikir seribu kali lebih.

Kertas-kertas tersebut berjajar di dinding ungu yang warnanya sudah memudar keputihan. Dinding dingin itu dipenuhi oleh lukisan bermacam-macam bunga sederhana yang didominasi oleh bunga pacar kuku.

Tiga puluh menit yang lalu, Utkarsa baru pulang mengajar les kecil-kecilannya. Lima belas menit selepas mandi, Utkarsa memilih untuk melukis bunga seperti biasa. Hanya untuk menenangkan pikirannya.

Selepasnya, Utkarsa mengambil dompet. Ia melihat isi amplop yang diberikan oleh wali dari anak-anak yang dia ajar, berhubung sekarang sudah masuk di tanggal awal bulan hari Senin. Oh iya, Utkarsa hanya mengajar tiga orang saja. Wajar, permulaan.

Setiap bulan, Utkarsa menghasilkan uang sekitar tiga juta enam ratus ribu rupiah, akan tetapi Utkarsa hanya mengambil enam ratus ribu untuk satu bulan saja. Sisanya diberi kepada Bu Cheljea, kerap dipanggil Ibu Jeje oleh anak-anak panti asuhan di sini, selalu pengurus panti asuhan yang menetap tinggal bersama mereka.

Uang tersebut digunakan Jeje untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anak panti asuhan, meski kurang mencukupi, setidaknya Utkarsa berniat membantu. Mengingat sedari bayi Utkarsa sudah hidup di sini.

"Bu Jeje, ini hasil mengajar Karsa bulan ini," ucap Utkarsa seraya menyerahkan amplop coklat tersebut pada Jeje yang menerimanya dengan senyum sendu yang setiap hari perempuan itu tunjukkan pada Utkarsa.

"Kar,  sebentar lagi kamu harus kuliah. Karsa gak berniat menabung uang hasil mengajar?"

"Bu Jeje tenang saja. Doain Karsa, semoga dapat beasiswa lagi untuk kuliah nanti. Rezeki sudah diatur Tuhan kan, Bu? Tidak usah khawatirkan Karsa. Terhitungnya Karsa masih beruntung bisa sekolah sampai sekarang."

Bu Jeje memeluk tubuh Utkarsa yang kini sudah lebih tinggi darinya. "Karsa anak baik. Semoga sukses selalu ya, Nak. Pasti orang tuamu akan bangga."

Badan Utkarsa membeku tiap kali Bu Jeje membahas tentang kedua orang tuanya. Matanya menatap ratusan bunga pacar kuku yang ada di depannya. Lantas bola matanya menatap ke langit-langit koridor panti yang sudah lusuh.

Mata Utkarsa memanas, lagi. Tetapi Utkarsa sama sekali tidak ingin mengeluarkan air tersebut di depan Bu Jeje. Jadi dengan sekuat tenaga, Utkarsa menahannya.

"Terima kasih, Bu. Karena sudah menjadi pengganti orang tua Karsa yang paling Karsa cinta."

***

"Udah sembuh lo? Gak seru banget. Gue mau ngapel berdua sama Xena."

Celetukan Nawasena terdengar begitu menjengkelkan di telinga Bora yang baru saja datang ke rumah Xena untuk minta diajarkan soal Fisika. Kebetulan, Nawasena juga datang sejam sebelum Bora.

"Masih mending gue selalu jadi setan manusia yang nampak di antara kalian. Daripada yang jadi setan ketiga setan jin yang nggak nampak. Yang ada kabur kan lo? Lo kan cemen."

Nawasena bersedikap dada. Memasang raut wajah sebalnya. Dengan sesekali menatap ke belakang. Nawasena itu penakut sekali kalau sudah membahas masalah mistis. "Bisa gak sih gak usah bahas-bahas itu mulu!"

"Abisnya, sahabat sakit tuh Alhamdulillah sembuhnya cepet. Ini malah dikata enggak seru. Edan."

"Gini-gini kemarin gue sama Xena jadi babu lo seharian, buset, gak inget jasa-jasa baik gue mulu. Butuh asupan buku PPKN sama Akidah Akhlak lo?"

IQ (SELESAI)Where stories live. Discover now