40. Short Service Forehand

Mulai dari awal
                                    

"Belum mulai, masa udah na-"

Terdengar desahan yang berasal dari mulut Hansa sewaktu Bora menendang perutnya dengan kencang. Gadisi itu sempat berdiri dan berlari, tetapi Hansa berhasil beranjak dan memeluk tubuh Bora dari belakang. "LEPASIN BAJINGAN!"

"Saya udah bilang, saya mau kamu. Saya enggak akan lepasin kamu sampai saya dapatin apa yang saya mau dari kamu."

"GURU SINTING!"

Bora kembali mencoba melepaskan diri dari kungkungan tangan kekar milik Hansa. Namun, Hansa kembali bertindak, dia membanting tubuh Bora ke lantai. Tubuh Bora rasanya sakit sekali, belum lagi rasa takutnya yang semakin menjadi-jadi. Jadi pengin hilang dari bumi saja rasanya.

Bora hendak beranjak, tetapi Hansa lebih dulu menindihi tubuhnya. Tangan Hansa bergerak membuka kancing seragam Bora dengan cepat. Bora berkali-kali memberontak, tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil.

Tangisan Bora semakin kencang sewaktu Hansa membuka roknya, apalagi baju seragamnya sudah terbuka sempurna menampilkan kaos dalamnya. Bora menutup kembali wajahnya dengan kedua tangan. Kakinya sudah diapit oleh Hansa jadi tidak bisa memberontak lagi. Bahkan kini, kedua tangan Bora yang menutup wajahnya sudah berada di genggaman Hansa secara paksa.

Sedikit lagi, benar-benar tinggal sedikit lagi bibir Hansa bertemu dengan bibir Bora. Akan tetapi, suara dobrakan pintu yang kencang menggagalkan rencana Hansa. Hansa terkejut sewaktu Nawasena menarik rambutnya, lantas memukulnya tanpa jeda.

Bora mendudukkan badan dan masih menangis sesegukan dengan tangan yang sibuk memakai kembali pakaiannya. Lemas, tubuhnya benar-benar lemas. Bagaimana tidak, badannya hampir dipakai.

"Naw...," panggilnya.

"Mau pulang...."

Nawasena berhenti memukuli Hansa yang sudah terkapar lemah meski masih bisa membuka matanya. Nawasena menatap Hansa dengan penuh amarah, tatapannya seolah mengatakan; gue bakal laporin lo, dan jangan pernah sentuh Bora lagi. Kira-kira seperti itu.

Nawasena membuka hoodie krem yang dikenakannya, lantas memakaikannya di tubuh Bora yang masih sedikit bergetar. Bora menunduk seraya berjalan pelan dengan Nawasena yang merangkulnya sambil menepuk-nepuk pelan bahunya.

πππ

Nawasena menghentikan mobilnya di depan kediaman Ranajaya. Selama perjalanan tadi benar-benar hening. Bora terdiam dengan tatapan yang kosong menghadap ke arah depan. Nawasena tidak menyukai suasana seperti ini.

"Ola," panggil Nawasena. Panggilan Ola biasanya hanya Nawasena pakai di saat Bora sedang marah padanya. Biasanya, Bora kalau marah selalu diam, seperti saat ini.

"Gue gamau ikut olimpiade," sahut Bora tiba-tiba.

"Iya, ga perlu ikut. Belajar buat UTS sama UTBK aja."

Bora tidak menjawab, gadis itu kembali terdiam. Bayangan tentang kejadian hari ini membuatnya takut sampai sulit untuk mengutarakan perasaan takut yang amat menusuk. Lagian, perempuan mana yang tidak trauma dengan kejadian serupa?

"Ola...," panggil Nawasena, lagi.

"Semua cowok di kehidupan gue selalu ngecewain gue. Papi gue, Utkarsa, guru gue sendiri. Apa suatu saat lo bakal kayak mereka, Sen?" Asen, panggilan yang dipakai Bora untuk Nawasena saat sedang membicarakan hal yang menurutnya serius. Nawasena pun paham maksud panggilan Asen dari Bora.

"Never, Ola. Asen gak akan join circle mereka, Asen join circle om Nakula aja," jawab Nawasena. Sebenarnya Nawasena bingung, kenapa Bora menyebut Utkarsa? Memangnya Utkarsa telah berbuat apa sampai Bora kecewa? Iya, Bora tidak pernah bercerita tentang Utkarsa padanya.

IQ (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang