61. Pangkas waktu

6.3K 461 19
                                    

Di ruang kosong yang begitu gelap, duduk termangu seorang pria sembari menatap ke luar jendela

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di ruang kosong yang begitu gelap, duduk termangu seorang pria sembari menatap ke luar jendela. Di langit malam tanpa bintang, Deangelo masih belum bisa melepaskan bayangan Clara dari kepalanya. Semakin ingin melupakan, semakin kuat jejak gadis itu menghantui pikirannya.

Clara Sifabella, entah apa yang Deangelo perbuatan sehingga cintanya itu begitu cepat pergi. Ia tahu Clara terlalu banyak memikul beban, tapi ... tidak bisakah gadis itu menahan sedikit lagi dan tidak pergi begitu saja?

Deangelo menatap kosong langit hitam tanpa cahaya, menahan genangan air mata yang tertampung di kelopak matanya.

“Ra, apa masih sakit ...?” tanya Deangelo perihal keadaan kekasihnya itu saat ini.

“Clara ...” lirihnya.

Deangelo menepuk-nepuk dadanya yang penuh sesak, seakan pisau bergerigi bersarang di hatinya.

“Aku yang sakit,” satu tangan pria itu meremas kuat gagang jendela, “sakit, Ra.”

“Kamu udah pergi seminggu, tapi kenapa aku masih terjebak di rasa sakit ini?”

Deangelo menghirup udara banyak-banyak dan dalam satu kedipan meluruh air matanya. “Malam ini, tolong datang ke mimpi aku, ya.”

“Demi Tuhan, aku kangen ....”

***

Tidak hanya Deangelo, Astrella dan Zidan, sebagai seseorang yang pernah dekat dengan Clara, Allerick juga merasakan kehilangan yang sama. Bagaimanapun, gadis itu pernah membantunya untuk berdiri saat ia tidak punya tonggak untuk tetap bertahan. Tapi ia tidak terus larut dalam kesedihan, jika ia lemah maka siapa yang akan menguatkan Astrella. Ya, Allerick harus tetap terlihat kuat meski ia tidak sekuat itu.

Allerick sudah bersedia untuk melakukan perawatan intensif, dan kini rambutnya pun mulai rontok sebab obat-obatan yang ia konsumsi. Alasan ia tidak ingin menjalani kemoterapi karena ini, Allerick tidak ingin rambutnya rontok dan akhirnya habis.

Pria itu ingin Astrella melihatnya dengan tubuh yang sempura, ia ingin Astrella melihat dengan mata kepala sendiri betapa tampannya dia jika memiliki rambut. Allerick tidak mau Astrella hanya melihat dari foto, karena itu dia baru ingin berobat setelah gadis itu bisa melihat.

Dilangkahkan kakinya menuju barber shop yang tidak jauh dari rumah sakit, ia sudah rela jika rambutnya dicukur habis.

“Siang, Nak ganteng!”

Allerick mengangguk dan tersenyum menanggapi seorang pria yang terlihat seumuran dengan ayahnya

“Mau dipotong model apa?”

Membuka topi kemudian terdiam sejenak, dan melihat wajah-wajah dengan rambut beragam di selebaran di depannya. Lantas Allerick tersenyum tipis sembari menatap kembali wajahnya di cermin.

“Dipangkas habis aja.”

Barberman itu sejenak kaget dan berkata, “Sayang ini, mah, udah bagus rambutnya. Tinggal di tipisin dikit udah keren.”

Allerick menggeleng dan tersenyum lagi, senyum yang begitu tipis.

“Saya kanker, Pak. Mau perawatan kemo.”

Lantas pria yang berada di belakang Allerick terdiam dan tidak bersuara lagi, tidak ia sangka anak semuda itu sudah mengalami beban berat.

Sedangkan Allerick menatap cermin dengan berkaca-kaca, namun tidak menangis. Ia menahan mati-matian air matanya agar tidak terjatuh melihat rambut yang dulunya ia banggakan, kini terkikis sedikit demi sedikit.

Hembusan nafas berat keluar dari mulut Allerick, ia lantas mengenakan kembali topinya dan berterima kasih pada barberman itu setelah membayar.

Langkah Allerick terasa sangat berat setelah keluar dari barber shop, akhirnya air matanya jatuh setelah ditahan begitu lama.

Sepeninggalan Allerick, seorang pria memasuki pangkas rambut tersebut.

“Dipotong model apa, Nak?”

“Cukur semua, Pak.”

Barberman terheran-heran, kenapa banyak anak muda yang tidak sehat.

“Kamu menjalani pengobatan juga?”

Pria yang ingin dipotong rambutnya itu menggeleng tidak membenarkan.

“Saya gak mau kakak saya merasa sendirian ....”

***

“Gue tau lo deket banget sama Clara, udah kayak saudara sendiri. Tapi tolong, jangan kayak gini!” Danica memperingati Zidan yang hidupnya sudah seperti manusia tidak bernyawa, padahal awalnya pria itu yang seolah sangat terlihat kuat.

“Lo boleh kenang Clara sebanyak yang lo mampu, tapi jangan ikutin rasa sakitnya!”

Danica menggelengkan kepala pelan. “Hidup memang tentang jumpa dan berpisah, lo gak bisa selamanya hidup sama orang yang lo sayangi.”

“Hidup berjalan, manusia lahir dan mati bergantian, kita cuma bisa jalanin dan nunggu kapan giliran kita! Gak semua berjalan dengan apa yang direncanain, Zidan!”

Zidan mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk, kemudian menatap gadis di sampingnya yang akhir-akhir ini selalu berada di lingkupnya. Ia kemudian memeluk gadis itu menumpahkan air mata yang ditahan setelah kematian Clara, yang membuatnya hidup tanpa emosi selama seminggu ini.

Zidan sedih tapi tidak menangis, ia merindukan Clara tapi berusaha sekeras mungkin menghindari semua yang yang berhubungan dengan sahabatnya itu. Zidan benar-benar hidup tanpa ekspresi yang jelas setelah Clara pergi.

“Ca, gimana kalo gue kangen sama Clara? Gue harus ke mana ...?” Zidan menangis di dekapan Danica, “tadi malam gue ke rumahnya, tapi Clara gak buka pintu.”

“Gue harus gimana, Ca ...?”

“Makanan yang selalu gue bawa, sekarang gak pernah lagi dia ambil.”

Zidan mengepalkan kuat tangannya tidak sanggup untuk bernafas dengan tenang.

“Ke mana gue harus cari Clara kalo gue kangen dia, Ca ...?”

Danica menepuk bahu Zidan, setelah ia melihat sikap Zidan yang begitu berbeda dari biasanya, Danica menjadi tahu jika Clara adalah orang yang sangat baik. Bagaimana Zidan sekarang ini, itu membuktikan jika Clara tidak seperti rumor buruk yang selama ini beredar.

“Do’a. Satu-satunya cara kalo lo kangen dia, do’ain Clara ....”

***

Kamis, 18 November 2021

Selamat membaca dan semoga terhibur 🖤
jangan lupa vote dan komen yaa, ditunggu part selanjutnya.

SAYONËËWhere stories live. Discover now