44. Hujan waktu terbaik untuk menangis

10.2K 678 48
                                    

Roda memang terus berputar, setelah Zidan dan Efrain kini Allerick yang terbaring di brankar rumah sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Roda memang terus berputar, setelah Zidan dan Efrain kini Allerick yang terbaring di brankar rumah sakit. Wajah dan tubuhnya babak belur Deangelo buat, sampai-sampai susah untuk bernafas. Sedang yang membawanya ke sini tak lain adalah Zidan, Deangelo yang memberitahu.

“Sejak kapan?”

“Hah?” Zidan pura-pura tidak tahu.

Allerick berdecak kemudian menatap Zidan yang duduk di sebelahnya. “Lo, Clara sama Astrella. Sejak kapan semua itu?”

Zidan sudah menduga lambat-laun semua akan terungkap, dan itu terjadi hari ini.

“SMP.”

“Terus kenapa lo gak ngomong sama gue?”

“Gue gak bisa bilang, Rick! Astrella minta gue sama Clara buat gak ngumbar semuanya!” jelas Zidan menatap balik Allerick.

“Dan salahnya gue, kenapa dulu gak peringatin Astrella biar gak kemakan omongan lo. Gue pikir dia gak bakalan mau seberapa pun besar usaha lo deketin dia, karena gue tau Ella gak suka cowok urakan.”

Zidan menggelengkan kepala dan  mengejek dirinya sendiri. “Tapi ternyata gue salah, dia jatuh cinta sama lo. Dan akhirnya gue harus relain perasaan gue ....”

Zidan menunduk dan terkekeh kecil, terdengar sangat terpaksa.

“Jadi selama ini ... dia Astrella?” tanya Allerick pelan mengetahui gadis yang tidak pernah Zidan ceritakan.

“Hm,” gumam Zidan mengiyakan.

Allerick tertawa, keras ... lebih keras ... sangat keras. Sial, apalagi ini. Ia mengusap wajahnya yang penuh kapas kasa, tidak pernah mengira akan serumit ini. Semua terlihat buram di matanya, setelah ini kejutan apalagi yang akan terjadi. Benar-benar luar biasa.

“Terus lo gimana? Kenapa lo bohongin perasaan lo sendiri, anjing?!”

“Karena Astrella gak cinta sama gue! Dia anggap gue sebatas sahabat, gue gak bisa paksain perasaan gue, Rick! Hari itu gue gak tau harus gimana lampiasin kemarahan gue.”

“Hari itu, apa saat lo ikut balapan liar?!” Allerick memastikan.

Zidan mengangguk dan tertawa luwes mengingat kejadian saat itu, yang parahnya masih membekas sampai sekarang ini.

“Kenapa kecepatannya gak gue naikin lagi, ya, waktu itu. Harusnya gue mati aja-”

“Jangan bego!!” potong Allerick tak suka mendengar perkataan Zidan.

Pria pemilik senyum manis itu menyandarkan tubuhnya dan mendongak menatap langit-langit, nafasnya ia atur agar tetap tenang. Berat sekali, semua terasa sangat berat.

“Jadi, gimana ke depannya?” Allerick kembali bersuara.

Zidan menggelengkan kepala mengangkat bahu, semuanya sangat rumit.

SAYONËËWhere stories live. Discover now