✔Sittatun wa tsalaatsuuna

41 16 52
                                    

Tak pernah terpikirkan oleh Zahra sebelumnya, bahwa dirinya bisa sedekat ini dengan Mirza. Zahra tahu bahwa ini salah, tapi siapa yang bisa untuk menghilangkan perasaannya terhadap Mirza? Semakin ke sini Zahra semakin sadar bahwa kini perasaannya tumbuh semakin besar.

"Hati-hati kalau jalan," ucap seseorang yang menarik tutup kepala jaket Zahra saat dirinya hendak jatuh tersungkur ke depan karena tersandung ranting. Hal tersebut membuat Zahra sedikit terkejut dengan debaran jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

"I-iya Kak ... terima kasih," jawabnya sedikit gugup.

"Kamu sakit?" tanya Mirza menatap khawatir Zahra.

"Hah?"

"Kenapa muka kamu kok merah gitu? Kamu sakit?" kata Mirza sekali lagi, membuat muka Zahra semakin memerah, bagaimana bisa Mirza tidak peka tentang hal ini?

"Ah, e-enggak kok Kak, aku tidak apa-apa, hanya sedikit gerah aja, iya gerah," jawab Zahra sembari mengipasi mukanya berharap hawa panas ini segera berlalu, kelakuan Zahra tersebut membuat Mirza mengerutkan keningnya.

"Gerah? Bagaimana bisa gerah? Bukannya di sini suhunya dingin ya?" tanya Mirza penasaran membuat Zahra menepuk keningnya.

Bodoh! Di mana otakmu Zahra? Bisa-bisanya di saat seperti ini kamu ngasih jawaban yang tidak masuk akal! batinnya memaki diri sendiri.

"Eh ayo Kak, nanti kita ketinggalan yang lain," ujar Zahra berusaha mengalihkan perhatian Mirza dan berharap agar kelakuan anehnya kali ini terlupakan. Mirza hanya geleng-geleng kepala melihat Zahra yang seperti ... salah tingkah.

Perjalan pulang kali ini tidak seperti suasana saat berangkat. Semua mobil terlihat lebih hening dan tenang, tentu saja karena manusia di dalamnya sedang molor akibat kelelahan.

Sesampainya di kampus merekapun keluar dengan wajah kusut serta barang bawaan yang terlihat lebih banyak dari pada saat berangkat.

"Sudah sampai, ayo kalian bangun," ujar Pak Irawan mencoba membangunkan Zahra dan Galuh. Zahra tetap tidur nyenyak tanpa terusik sedikitpun, sedangkan Galuh yang berada tepat di belakang Pak Ir menggeliat pelan sembari menguap lebar, perlahan matanya mulai mengerjab pelan.

"Ah ... udah sampai ternyata," ujar Galuh sembari merenggangkan otot-otot lehernya.

"Iya, ayo turun, bangunin Zahra juga, nyenyak banget kayaknya tuh anak tidur," ucap Pak Ir terkekeh kecil.

"Gak usah dibangunin Luh, biar aku antar aja langsung ke rumahnya," kata Mirza membuat Galuh serta Pak Ir menoleh ke arahnya dengan pandangan yang tak dapat di artikan.

"Pak Ir tenang aja, saya tidak akan berbuat macam-macam sama Zahra. Saya juga kenal sama keluarga Zahra. Kakak Zahra juga menitipkan Zahra kepada saya, jadi sudah kewajiban saya buat menjaga Zahra, kalau pak Ir masih nggak percaya, saya bisa menghubungi Abi Zahra," jelas Mirza agar tidak terjadi sebuah kesalah pahaman.

"Saya percaya sama kamu, karena kamu gak mungkin melakukan hal macam-macam," ujar pak Ir, Galuh hanya terdiam, dia tidak peduli bahkan kepo tentang hubungan apa antara Mirza dengan Zahra.

"Yaudah Pak saya pulang dulu ya? Kak Mirza terima kasih atas tumpangannya," ucap Galuh kemudian keluar dari mobil, tak lama Pak Ir juga ikut menyusul keluar. Kini tersisa hanya ada Mirza dan Zahra yang tertidur pulas di bangku belakang.

Yola sedari tadi sudah menunggu kedatangan Zahra karena mobilnya tiba terlebih dahulu. Saat melihat mobil Mirza memasuki area kampus, senyum merekah terbit di bibir manisnya.

"Akhirnya datang juga," gumamnya, namun tak berniat untuk menghampiri, karena Yola merasa sungkan apalagi di dalam mobil itu terdapat salah satu dosennya. Oleh sebab itu, Yola lebih memilih untuk menunggu Zahra turun. Setelah menunggu beberapa menit dia melihat Galuh turun, tak lama kemudian di susul oleh pak Ir, menunggu lagi, tapi kenapa Zahra tidak turun-turun?

ISLAM IS PERFECT, I'M NOT (Complited)Where stories live. Discover now