Bab 19 | Hari Tanpamu

213 28 8
                                    

Hari-hari Satya tanpa Echa terasa lebih berat dari yang sebelumnya. Setiap dia bangun tak ada lagi wajah cantik yang menyapa paginya. Begitu juga di setiap ia pergi maupun pulang dari mengajar, tak ada lagi yang menyambutnya dengan hangat.

Semua terasa sepi. Bahkan celotehan-celotehan Agni yang senantiasa menghiasi sudut rumah. Kini menghilang dan tergantikan oleh kesunyian.

Selama ini waktunya ia habiskan dengan kegiatan mengajar seperti hari-hari biasanya. Terkadang dia sukarela membantu kepindahan Acha dari rumah Wira ke rumah sang mertua. Atau sesekali lelaki itu menemani Acha untuk mengurus berkas-berkas yang hendak digunakan dalam persidangan nanti.

Rutinitasnya memang tampak padat, hingga membuat kondisi laki-laki itu terlihat tak terurus. Jika ditelisik lebih lanjut, dapat kita lihat ada sebuah kumis tipis yang kini menghiasi wajahnya. Poni yang biasanya selalu disisir rapi dengan tambahan sedikit pomade, sekarang ia biarkan jatuh begitu saja. Kemejanya yang dulu tampak selalu licin karena rajin disetrika, kini berubah kusut.

"Sat, lo ngapa dah?! Gak biasanya berangkat ngajar kaya gembel gitu," ledek Jaka yang hanya dibalas Satya dengan plototan mata. Namun bukannya membalas, lelaki itu malah berdecak sebal dan kembali menaruh kapalanya di atas meja.

"Emang Echa udah bosen jadi istri lo apa? Makanya dia males merhatiin penampilan lo akhir-akhir ini."

Bukannya merasa takut, malah ledekan Jaka semakin menjadi-jadi. Di luar dugaan, Satya malah mengiyakan ucapan sahabatnya itu.

"Mungkin, Jak. Kayaknya Echa udah males sama aku. Makanya dia pergi," balas lelaki itu dengan lirih. Kini wajahnya ia benamkan pada lipatan kedua tangan.

"Hah?! Gimana?! Gimana?! Echa ikut-ikutan Wira gugat cerai lo juga?!"

Satya seketika itu mengangkat wajahnya seraya berdecak kembali.

"Mana ada yang kayak gitu!" elak Satya cepat.

"Ya terus apaan dong?!" desak Jaka kemudian.

Satya tampak menghela napasnya sebelum ia menjawab, "Aku gak tau, Jak. Dia udah tiga hari gak pulang-pulang. Pusing aku!"

Sebelah alis Jaka terangkat ke atas. Dirinya seketika itu merasa aneh dengan sahabatnya ini. Bukankah di jaman modern seperti sekarang sudah ada teknologi yang namanya smartphone?

"Ya kenapa gak coba lo telpon aja dia?"

"Udah, Jak! Aku udah telpon dia berkali-kali. Tapi dianya gak mau ngangkat. Malah sekarang nomernya udah gak aktif lagi!" potong Satya dengan cepat.

"Emang awalnya kenapa sih? Gak mungkin 'kan gak ada api kalo gak ada asap," bujuk Jaka supaya Satya mau berbagi cerita padanya. Kebetulan suasana ruang dosen sedang lenggang. Sebab dosen-dosen lain tengah sibuk mengajar di kelas. Jadi cuman hanya mereka berdua saja yang ada di dalam ruangan itu.

"Waktu itu aku dapet kabar dari Acha kalo Wira minta cerai darinya. Jadi aku coba hibur dia. Eh, taunya aku malah kelupaan ngasih kabar ke Echa."

"Jangan bilang lo baru nyadar udah punya bini sama anak waktu mau balik ke rumah kemarin," tuduh dosen yang terkenal kece itu.

Satya bungkam seribu bahasa. Lelaki itu tampak tak bisa menjawab pertanyaan simpel dari sahabatnya tersebut.

"GOBLOK LO!" caci Jaka seketika. "Emang seratus buat Echa! Mending minggat daripada ngeladeni suami macem kek lo!"

Satya lantas mengerucutkan bibirnya lucu. Ia ingin sekali membalas makian Jaka tersebut. Namun, apa daya yang dikatakan lelaki itu memang benar adanya.

"Ck! Terus aku harus apa dong sekarang?!"

"Yah, dicarilah! Bila perlu cari sampai kolong-kolong meja sekalian," sentak Jaka seketika. Sepertinya lelaki itu sudah gemas melihat kelakuan sahabatnya. Otak boleh encer, tapi kalau urusan yang begini saja, Satya bodohnya minta ampun.

"Lagian lo sih, ngadi-ngadi! Pacaran sama siapa, eh, nikahnya malah sama siapa?! Ribet 'kan jadinya!" omelnya sekali lagi.

Sebenarnya lelaki itu juga merasa kasihan dengan kisah cinta sahabatnya ini, tapi mau bagaimana lagi? Terkadang sesempurnanya manusia seperti Satya, tetap saja ada kurangnya. Iya menurut Jaka, Satya memang kurang tegas sama perasaannya!

"Aku serius, Jak!" sentak Satya. Lalu dibalas balik oleh Jaka tak kalah keras.

"Gue juga serius o'on!"

Satya mendengkus sebal seraya membuang mukanya. Hingga hal tersebut mengundang Jaka agar bersikap lebih sabar lagi.

"Oke, gini aja. Lo udah tanya belum ke orang tuanya? Biasanya istri kalo lagi berantem sama suami ya pulang ke rumah orang tuanya," ucap Jaka memberi saran.

Satya menggelengkan kepalanya.

"Itu kayaknya gak mungkin, deh! Aku kemarin sempet nganter Acha ke rumah bapak, tapi aku gak liat ada Echa di sana," jelas lelaki itu kemudian.

"Kalo gitu coba tanya ke adik lo. Barangkali aja dia ke Jogja gak bilang-bilang."

Seperti mendapatkan angin segar. Satya bergegas mencari ponselnya. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung menghubungi Arumi.

Tuuuut.. tuuuut..

Bunyi sambungan telepon terdengar lama di telinganya. Hingga hal tersebut berhasil membuatnya sukses gigit jari. Pada detik selanjutnya, Arumi akhirnya mengangkat telepon itu.

"Hal–"

"Rum, Mbak Echa ada di sana gak?" potong Satya dengan cepat.

Arumi tampak berdecak sebal, sebelum ia menjawab, "Salam dulu, Mas. Baru ngomong!"

"Iya, iya. Assalamualaikum, Echa sama Agni ada di sana, nggak?"

Kini Arumi malah menertawakannya.

"Wah, keren sekali Mas Satya baru inget istri sama anaknya. Ke mana aja, Mas?"

Sama seperti Jaka, Arumi juga ikutan meledeknya. Satya memang sengaja men-loudspeaker sambungan teleponnya. Sehingga secara tak langsung Jaka dapat menyimak obrolan itu. Jadi tak heran kalau duda keren ini kembali menertawai kebodohan sahabatnya.

"Mantap, Rum! Lanjutkan! Ledek terus masmu itu!" komentar Jaka disertai dengan tawa kerasnya.

"Emang bener, Mas Jaka! Mas Satya perlu dikasih hukuman dulu deh, biar dia jerah."

"Ck! Udah-udah! Bener nggak kalo Echa ada di sana?"

"Iya, Mas. Makanya cepetan ke sini, sebelum Mbak Echanya dibawa kabur sama duda kampung sebelah loh!" goda Arumi diiringi dengan tawa candanya.

Mendengar ucapan sang adik, seketika membuat Satya merasa lega. Akhirnya ia bisa menemukan kepastian keberadaan sang istri.

"Oke, titip dia dulu ya! Malam ini aku ke berangkat ke sana," putus Satya.

"Wani bayar piro sampeyan, Mas?!"

"Tak bayar seharga mobil mewah, tapi gambare tok!"

"Ooooh, pancene sampeyan iki–"

Tuut.. tuut.. tuut..

Tiba-tiba Satya menutup sambungan telepon itu. Sepertinya kedua telinganya sudah panas karena terlalu lama mendengar celotehan Arumi. Detik berikutnya, ia langsung bangkit dari tempat duduk. Kini ia tengah bersiap untuk pulang ke rumah.

"Lah, balik lo?" tanya Jaka.

"Gak, gembel di perempatan!" balas Satya sarkas. Lalu ia berjalan keluar dari ruangan tanpa berpamitan pada sahabatnya. Sedangkan Jaka malah kembali tertawa cekikikan.

=TBC=

Cinta Salah Alamat | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang