Bab 13 | Acha dan Segala Kepopulerannya

200 27 1
                                    

Hari demi hari telah berlalu. Seperti biasa Acha menjalani kehidupan sekolahnya dengan damai. Hampir tak ada masalah yang menghampirinya. Begitu juga dengan kepopulerannya kian menanjak setelah dirinya berhasil meraih prestasi dalam ajang lomba debat Bahasa Inggris di Singapura.

Sejak saat itu Acha dinilai tak kalah kerennya dengan sang kakak. Namun, hal ini malah membuat satu sekolah sering membandingkan-bandingkan keduanya. Mereka menganggap bahwa Acha selalu melakukan hal yang lebih baik daripada Echa. Bahkan sampai-sampai membandingkan paras keduanya. Katanya, si adik lebih cantik karena sering terlihat tersenyum pada siapa saja ketimbang sang kakak.

"Hai, Cha! Mau ke mana nih?" sapa seorang laki-laki yang tengah duduk di depan kelas.

Echa merasa terpanggil, tetapi ia tetap bersikap cuek. Sebab dirinya tahu kalau laki-laki yang memanggilnya itu terkenal sebagai siswa nakal dan senang menggodai para siswi di sekolahnya.

"Oh, aku tau. Pasti mau ke kamar mandi ya? Mau aku temenin, gak? Biar enak."

Echa sudah siap menghajar lelaki tersebut. Namun, dirinya lebih memilih untuk tak memperpanjang masalah dan langsung berjalan tanpa mempedulikannya lagi.

"Cih! Sombong banget! Diajak ngobrol malah diem aja. Sok kecantikan lo!" sindir lelaki itu.

"Padahal cantikan Acha ke mana-mana," imbuhnya yang tampaknya masih tak puas menyindir gadis itu.

Echa segera mempercepat langkahnya. Matanya tampak berkaca-kaca karena sudah lelah dibandingkan-bandingkan seperti ini. Hingga akhirnya membuat dia merasa lebih sensitif dengan lingkungan sekitar. Dia tak suka jika orang-orang menilainya jelek. Padahal mereka belum mengenalnya luar dalam.

***

Setelah puas menangis di kamar mandi, Echa segera kembali ke kelas. Apalagi bel baru saja berbunyi, menandakan kalau jam istirahat telah usai. Namun, saat Echa sampai di depan toilet cewek, gadis itu tiba-tiba berpapasan dengan Satya.

Seketika Echa langsung hentikan langkahnya. Dengan cepat dia berusaha menutupi wajahnya. Ia tak ingin mata sembabnya itu terlihat oleh lelaki tersebut. Padahal sebelum keluar dari toilet, ia sempat mengecek kembali penampilannya. Namun, tetap saja ia merasa tak percaya diri menatap Satya secara langsung.

Melihat Echa terdiam di depan sana, membuat Satya tak gentar melangkah mendekati gadis itu. Saat ini suasana di sekitar mereka tampak lenggang. Sebab siswa-siswi yang lain telah masuk ke dalam kelasnya masing-masing.

Setelah sampai di depan gadis itu, Satya memutuskan untuk berhenti sejenak. Sedangkan Echa masih menyembunyikan wajahnya. Cukup lama lelaki itu terdiam. Sampai akhirnya dia mengucapkan sepatah kalimat yang berhasil membuat hati Echa merasa terhibur.

"Jangan nangis lagi!"

Barulah setelah itu Satya berjalan masuk ke dalam toilet laki-laki yang kebetulan terletak di samping toilet perempuan. Namun sebelum dia pergi, ia sempat mengusap pelan rambut si gadis.

Seketika mata indah itu langsung membulat sempurna. Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik di perutnya. Hingga pada detik itu, Echa mengaku bahwa Satya telah berhasil membuatnya melayang sampai ke langit ketujuh.

***

Seiring berjalannya waktu, Echa semakin membenci siapa saja yang memanggilnya dengan sebutan "Cha". Dia tak suka jika disamakan dengan sang adik. Bahkan ketika sudah kesekian kalinya ia protes pada mereka. Namun, mereka malah menganggapnya terlalu lebay.

"Cha!"

Baik, terkecuali yang satu ini. Echa tak bisa protes apalagi marah padanya. Sebab seorang Satya sampai kapanpun tak akan pernah bisa membuat Echa mengalah darinya.

"Apa, Tya?" balas Echa saraya menoleh pada lelaki itu. Langkah kakinya kini berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Dilihatnya Satya tengah berlari kecil mendekatinya. Alis Echa mengerut, lantaran ia masih bingung mengapa lelaki itu tampak terburu-buru.

"Kamu kenapa lari? Ini kan masih jam enam," tanya Echa sekali lagi sesaat setelah Satya sampai di hadapannya.

Bukannya menjawab, lelaki itu malah tersenyum lebar.

"Selamat pagi, Cha."

Echa seketika itu melongo sembari mengedip lucu. Dia tak menyangka jika orang yang cintai dalam diam itu, tiba-tiba mengucapkan selamat pagi kepadanya. Seakan dirinya terkesan spesial di mata lelaki itu.

"O–oh, iya.. selamat pagi juga," balas Echa tergagap-gagap.

"Oke. Yuk, ke kelas bareng-bareng!" ajak Satya sembari menarik lengannya.

Akhirnya Echa pasrah mengikuti langkah kaki lelaki tersebut. Dia memilih diam lantaran terlalu canggung. Ini sudah kesekian kalinya Satya bersikap manis padanya. Namun, berkali-kali itu juga Echa masih tak bisa mengontrol degup jantungnya. Dia terlalu lemah dan tak berdaya jika dihadapkan dengan lelaki itu.

"Kamu sendirian? Kok aku gak liat adikmu?"

"Oh, dia ijin gak masuk sekolah hari ini. Kecapekan habis ikut turnamen kemarin," jelas Echa kemudian.

"Sakit apa?"

"Cuman demam aja kok."

Satya mengangguk paham.

"Terus sekarang keadaannya gimana?"

"Udah mendingan sih. Paling butuh istirahat sehari doang. Mungkin besok udah bisa masuk lagi."

Lagi-lagi Satya menganggukan kepalanya. Selanjutnya mereka telah sampai di kelas dan tengah bersiap menerima pelajaran.

***

Setelah bel berbunyi, Echa tak bisa langsung pulang ke rumahnya. Ia harus mengikuti ekskul Paskibraka terlebih dahulu. Jadi dirinya mau tak mau sampai di rumah ketika menjelang maghrib.

Awalnya Echa tak merasakan apa-apa di tengah perjalanan. Ia bahkan dengan santainya mengendarai sepeda. Namun saat ia sampai di tikungan dekat rumahnya, ia tak sengaja berpapasan dengan Satya.

Sayangnya hanya Echa saja yang menyadari hal itu. Sebab sampai Satya menghilang di tikungan, lelaki tersebut tak menoleh padanya. Sontak gadis itu merasa heran, mengapa Satya melintasi jalanan di sekitar rumahnya?

Menurut Echa ini terasa aneh, lantaran ia tahu kalau rumah laki-laki itu berlawanan arah dengan rumahnya. Apalagi dia terlihat belum sempat mengganti seragamnya. Jadi itu artinya, satelah pulang sekolah Satya tak langsung pulang ke rumahnya.

Sedetik kemudian, Echa tak mau ambil pusing lagi. Dia tak mau menuduh Satya yang tidak-tidak. Biarkan saja! Lagi pula setiap orang pasti memiliki urusannya masing-masing. Begitu juga dengan Satya pastinya.

Sesampainya di rumah, Ibu tampak tengah membereskan gelas-gelas kotor yang ada di ruang tamu. Alis Echa kembali mengerut. Apa rumahnya baru saja kedatangan tamu?

"Assalamualaikum, Bu. Echa pulang," sapa Echa sembari menyalami tangan sang ibunda.

"Wa'alaikumsalam, Nduk. Oh, kamu udah pulang toh. Sana mandi dulu!" perintah Ibu pada putri sulungnya.

Echa menganggukan kepalanya.

"Habis ada tamu ya, Bu?" tanya gadis itu yang tampaknya sudah tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.

"Oh, ini.. iya tadi ada temannya Acha yang jenguk dia."

Echa manggut-manggut.

"Terus Achanya gimana sekarang? Udah mendingan?"

"Udah, tadi dia juga sempet ngobrol banyak sama temannya itu."

"Bagus, deh. Kalo gitu Echa pamit mandi dulu ya, Bu."

Setelah Echa berkata demikian, gadis tersebut langsung melesak masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ibu tak menjelaskan siapa yang datang menjenguk adiknya, Echa masih saja merasa penasaran. Seakan momen ini sangat pas dengan kemunculan Satya di tikungan tadi.

Tak mungkin 'kan kalau laki-laki itu yang menjenguk adiknya? Lagipula dia bukan teman sekelas atau teman dekat Acha. Setahunya, mereka adalah teman biasa yang hanya sekedar tahu nama saja.

=TBC=

Cinta Salah Alamat | Sungjin Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang