Hal seperti itu adalah adegan paling umum yang akan kau temui di dalam sebuah film atau fiksi remaja. Dan mendengar hal semacam itu kembali terucap dari bibir Travis membuatku tidak bisa berhenti menggodanya.

“Tidak,” balasnya cepat, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan hal itu membuatku tertawa kecil. Apa ia sedang merasa malu sekarang?

“Hei Travis! Anggap saja aku yang memberikan jaket itu padamu, karena sebelumnya aku telah menolak mu memberikan benda itu.” Ujar ku sembari menyentuhkan pundaku padanya.

Hari ini, ia bersikap terlalu manis hingga sepertinya kadar gula dalam darahku meningkat.

“Jika... jika ibumu melihatmu ada di sini, apa yang akan kau lakukan, Anniemarie?” Tanyanya mengabaikan candaan ku sebelumnya.

Apa yang akan ku lakukan jika ibu melihat ku di sini? Entahlah. Jujur saja aku tidak tahu, apakah aku akan memakinya atau menangis karena tahu jika selama ini ia bukan lah ibu yang buruk... ia hanya bodoh karena terlalu memikirkan kebahagiaan orang lain, daripada dirinya sendiri.

“Mungkin aku akan berteriak padanya dan mengatakan jika tidak seharusnya ia mengambil jalan ini.”

Ya... ketika mendengar penjelasan Amelia, aku masih tidak memahami mengapa ia lebih memilih membuat kami membencinya daripada membuat kami terluka mengingat kepergiannya. Apa ia tidak mengerti jika kebencian itu juga diawali dengan luka kecil yang datangnya dari hati?

“Dia melakukannya untuk tidak menyakitimu,” ingat Travis.

“Ya... Aku tahu, tetapi... ku rasa akan lebih baik jika mengenangnya dengan perasaan terluka yang membuatmu bersedih daripada membencinya.”

Ya... Bagaimana bisa ia menyimpulkan sesuatu seperti itu tanpa mengetahui keinginan kami yang sesungguhnya? Aku sungguh tidak memahami ibuku...

Kami berada di sana cukup lama hingga suara kecil dari seseorang terdengar memanggil kami.

Seorang anak kecil berusia, entahlah, sekitar sepuluh atau sebelas tahun? Wajahnya terlihat begitu familiar... ia terlihat sangat mirip dengan Amelia.

“Mama memintaku untuk memanggil kalian.” Ekspresi murung yang ditampilkan pria kecil itu entah mengapa terlihat begitu menggemaskan di mataku. Biar ku tebak. Pria kecil ini pasti sedang begitu asyik bermain ketika Ibunya, Amelia memintanya menghentikan permainannya untuk memanggil kami.

“Kami akan segera ke sana, terima kasih.”

Setelahnya, tanpa menunggu apakah kami akan mengikutinya atau tidak, pria kecil itu berlari lebih dulu ke arah rumah yang sebelumnya ditunjuk Amelia.

“Perutmu masih cukup bukan untuk menerima asupan makanan tambahan?” Tanyaku pada Travis.

Ia mengangguk membalas. Ya, anak laki-laki selalu membutuhkan makanan lebih di setiap waktunya.

“Kalau begitu ayo kita ikuti anak kecil itu.”

***

Tatapan mata Amelia yang tidak berhenti menatap ku selama aku menghabiskan makanan ku itu membuat ku sejujurnya merasa tidak nyaman. Namun, aku tidak bisa memintanya untuk berhenti melakukannya karena ketika ia melihatku... senyuman terlihat jelas menghiasi wajahnya. Sepertinya ia merasa begitu senang bertemu dengan ku.

“Kau benar-benar cantik, apa kau tahu itu?”

Ia kembali melemparkan pujian itu pada ku. Dan jujur saja, mendapat pujian cantik dari sesama wanita sesungguhnya terasa lebih menggembirakan di bandingkan mendapat pujian dari pria. Namun, untuk Travis... Tentu saja berbeda.

Travis Mason [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang