Chapter 34: The First Snow - Part 3

1.4K 168 7
                                    

BERSAMA napas yang tidak teratur; aku berdiri dengan bertumpu di kedua lutut dan membagi sebagian berat tubuh melalui ujung Pedang Naga yang berdiri tegak di lantai; tidak tertancap.

Seluruh wajahku basah oleh keringat bercampur darah; demikian juga dengan jubah dan pakaian yang digunakan. Beruntung yang kupakai saat ini berwarna hitam sehingga cipratan darah yang menempel tidak akan terlalu terlihat meski bau tidak bisa membohongi.

Aroma anyir menguar ke mana-mana; mungkin telah sampai di luar penjara sebab 1.500 orang kini berubah menjadi mayat. Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan; mengumpulkan energi sebelum bangkit berdiri.

Tangan kanan yang memegang pedang kemudian dikelilingi oleh cahaya api biru yang perlahan muncul dan membuat Pedang Naga melayang di udara. Posisi tanganku kemudian berubah menjadi menengadah dan di detik selanjutnya pedang tersebut lenyap.

Selama kurang lebih 48 jam membantai seluruh pelaku pelanggaran tingkat menengah; selama itu pula aku merasa bahwa mengisap saripati darah sudah tidak berefek lagi pada kegelapan.

Terbukti dengan staminaku yang terkuras banyak dan belum pulih seperti semula atau bahkan setengahnya saja. Padahal dulu tiap beberapa bulan sekali aku harus membunuh untuk memberi makan kegelapan. Di sisi lain, setelah sakit kepala sialan itu menyerang, membunuh manusia juga merupakan obat untuk sakit kepalaku.

Tetapi, apa yang terjadi saat ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Dimulai dengan keagresifan kegelapan lalu diakhiri dengan ketenangan kegelapan; perubahan yang terjadi sangat cepat dan sangat berbeda dari sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kekuatan kegelapan menjadi seperti ini. Namun, yang jelas bahwa penurunan stamina menjadi indikasi tentang sebuah firasat buruk yang tidak ingin kuakui.

Menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan; melangkahkan kaki menyusuri genangan darah yang membuat sol sepatu terasa lengket. Perkataan Count Matius yang terlintas tanpa persetujuan; ingatan wajah Elora dan perkataannya; lalu perasaan berat yang akhir-akhir ini sering muncul; ketiga hal tersebut membuat pikiranku membisik,

Apakah saat yang ditentukan telah tiba?

Gemuruh di dalam dada memberi sinyal atas apa yang kupikirkan. Jawaban atas pertanyaan yang sudah muncul berulang kali namun selalu dihalangi dan diabaikan; tidak ingin mengakui apapun dan tetap berpura-pura tidak tahu seperti orang bodoh. Meski ini adalah perbuatan yang sama sekali tidak berarti; aku tetap ingin menyangkalnya sekuat tenaga dan semampu yang diri ini bisa.

"Yang Mulia."

Dua orang sipir penjara yang berjaga di depan pintu masuk sertamerta menjadi kaku begitu melihatku muncul dengan bau amis dan bekas darah di mana-mana. Setelah memberi hormat, salah satu sipir penjara sigap membawakan kuda hitam yang dua hari lalu kukendarai menuju Forsythia.

"Silakan, Yang Mulia."

Aku mengangguk kemudian segera menaikinya. Memegang tali kendali sembari menoleh, berkata, "Ada banyak yang harus kalian kerjakan. Panggillah Duke Astello karena hanya dia yang dapat menyelesaikan masalah ini."

"Baik, Yang Mulia."

Dari atas pelana, aku memandang lurus ke depan sebelum menghentakkan kaki ke perut kuda dan bergerak maju meninggalkan Desa Forsythia. Beberapa meter setelah melewati pusat keramaian; aku menambah kecepatan kuda menjadi maksimal. Bersama dengan kuda hitam yang melesat, pikiranku tertuju pada informan Count Matius yang berada di ibukota.

Fakta bahwa aku membutuhkan banyak darah hanya diketahui oleh beberapa orang saja: Hamon Quante, Duke Astello, dan Leocadio Xenos. Di antara ketiga orang tersebut, siapakah yang berani berkhianat meski tahu bahwa aku dapat membunuh mereka dengan sangat mudah?

Elora: My Little PrincessWhere stories live. Discover now