Chapter 22: Find the Right Answer - Part 3 (End)

2.1K 267 18
                                    

"Pa ... pa?"

LANGKAH kakiku terhenti. Segera membalik badan dan mendapati seorang anak perempuan kecil memakai pakaian lusuh dan robek-robek, berpenampilan kumal, dan kotor. Seluruh wajah, tangan, dan kakinya penuh bekas goresan dan luka. Dia berdebu. Sedangkan rambut kuningnya tetap bersinar di tengah keadaan tubuhnya yang tidak baik-baik saja; terlihat kelaparan dan kurang gizi.

Tetapi, dari semua penampilan fisik yang dia punya, rambut kuningnya yang bersinar dan netra hijau yang sangat jarang ditemui itu mencuri atensiku sepenuhnya.

"Papa?"

Aku nyaris tergelak. Seorang anak perempuan yang entah dari mana berasal memanggilku Ayah di tengah pertempuran dan lautan mayat manusia. Daripada mendatangiku dengan mempertaruhkan nyawa, harusnya dia bersembunyi saja seakan eksistensinya tidak ada agar dia aman. Tetapi, bukannya mempertahankan nyawa, dia malah masuk ke dalam jurang kematian dengan kaki-kaki kecilnya. Entah dia tidak takut mati atau memang berniat mati.

"Apa dia berasal dari pihak musuh?" Aku bertanya kepada Duke Astello generasi ke-37 yang berdiri satu langkah di belakang.

"Dari penampilannya, sepertinya bukan, Yang Mulia. Dia mungkin hanya tersesat."

"Begitu?" Mataku kemudian berpendar meneliti wajahnya yang jika semakin dilihat seakan aku sedang melihat versi mini dari diriku sendiri dengan jenis kelamin yang berbeda. "Aku benci rupa anak ini."

Lalu, pedang yang berada di sarung lantas kutarik. Mengarahkan ujung mata pedang ke lehernya, kemudian menjauhkan dan melayangkan pedang dengan gerakan cepat. Tepat sebelum sisi tajam pedang memenggal kepalanya, kalimat terakhir yang dia katakan dengan senyuman tipis adalah,

"Aku sayang Papa."

***

"Apa kau datang kembali untuk membuatku mengakuimu sebagai anak? Atau kau datang membalas dendam karena aku sudah membunuhmu?"

Acara jalan-jalan kami terhenti. Menjentikkan jari dan keberadaanku dengan anak perempuan itu lantas menjadi tak terlihat oleh ajudan di belakang sana. Sebuah dinding pembatas antara dunia nyata dan ruang di mana aku bisa mengontrol segala sesuatu sesuka hati mengelilingi kami. Berdinding tebal dan diselimuti sihir tingkat tinggi membuatnya tidak bisa ditembus oleh siapapun.

Aku kemudian menoleh dan menatapnya tepat di manik mata. Tangannya yang memegang celanaku saat kami berjalan-jalan di taman dilepas secara perlahan. Netra hijaunya menatapku bingung. Namun, meski telah berada dalam situasi ini dia tidak juga merasa takut. Pandangan mata itu menatapku lurus tanpa gentar sedikit pun.

"Maksud Papa?"

"Aku ingat pernah membunuhmu." Dia kebingungan tetapi aku tidak peduli dan berkata kembali, "Apa kau ingat? Seharusnya ini adalah pertemuan kedua kita karena aku sudah satu kali membunuhmu di masa lalu."

"Papa tidak pelnah membunuhku."

Tangan kananku terangkat ke atas. Aura biru pekat muncul perlahan; mengelilingi tanganku; kemudian tersusun ke atas lalu di detik berikutnya Pedang Naga muncul dari sana. Di bagian pegangannya terdapat motif dua ekor naga berwarna hitam yang saling membelakangi sedangkan bilah bajanya berwarna biru gelap sangat tajam dan dapat menembus apapun tanpa halangan.

Kekuatan kegelapan kemudian menjadi aktif dan lebih agresif sebab aku mengeluarkan Pedang Naga. Sembari mengarahkan ujung mata pedang tersebut ke arahnya, aku bertanya,

"Sebenarnya, siapa dirimu, huh? Jangan bilang kalau kau punya kekuatan untuk bangkit dari kematian setelah kubunuh satu kali?" Kemudian, aku tertawa hambar, "Kalau begitu, tak masalah bila aku membunuhmu sekali lagi untuk membuktikan hipotesisku."

"Papa tidak pelnah membunuhku."

Rahangku mengeras. Mendengarnya menjawab demikian membuatku semakin jengkel. Jelas sekali kalau dia telah mempermainkanku dalam waktu yang sangat lama.

"Jangan bicara omong kosong."

"Papa—"

"Kuperingatkan sekali lagi bahwa ini akan lebih sakit dari sebelumnya. Pedang yang kau lihat sekarang adalah Pedang Naga," Lantas aku menyeringai, "Kau cukup beruntung karena membuatku sampai mengeluarkan Pedang Naga. Harusnya itu merupakan sebuah kehormatan sebelum menuju ke alam baka."

Meski kematian telah berada di depan mata, anak perempuan itu tetap tidak menangis. Netra hijau itu tidak berubah dan tetap memandangku dengan ketulusan. Itu membuatku muak karena dia membuat ekspresi yang tidak pernah kubuat dengan wajah yang mirip denganku.

"Aku membencimu."

***

Aku terbangun dengan keringat di punggung dan dahi. Ketika bangun dari tidur, kepalaku selama beberapa menit terasa sakit. Bukan seperti sakit kepala karena kegelapan, namun ini lebih mirip dengan rasa pusing yang hanya sementara. Tidak hanya itu, dadaku juga berdebar-debar. Rasanya sakit dan sesak seakan dadaku ditinju secara terus-menerus. Bersamaan dengan itu, kalimat-kalimat yang ada di mimpi terkadang terlintas sehingga membuat telingaku berdengung.

Sekitar kurang lebih 10 menit dengan posisi memegangi kepala, apa yang kurasakan ketika bangun tidur semuanya menghilang. Aku sudah bisa menggerakkan tubuh sesuka hati. Tetapi, meski semuanya telah kembali normal, aku masih merasakan sakit di dada. Bukan sakit fisik, melainkan perasaan sakit hati yang dirasakan manusia.

***

Keadaan Hamon mulai tidak terbentuk dan lemas ketika aku berkunjung. Hari ini adalah hari terakhir dia tidak diberi makan dan minum. Namun, siksaan tetap berlanjut. Aku cukup takjub dengan kekuatan fisik dan mentalnya yang sampai hari ini masih bernapas sebab bertahan satu menit ke depan pun rasanya pasti sangat sulit ketika berada di ruang pendisiplinan.

"Yang Mulia ...."

Dia memberi salam ketika melihatku masuk. Menarik dan memosisikan kursi tidak jauh darinya, aku duduk sembari menaruh kaki kanan di atas kaki kiri. Tanpa menatap wajah Hamon, aku menceritakan keputusan apa yang telah kuambil terhadap Elora. Tetapi, melihat reaksi yang dia berikan, aku sedikit kecewa karena sempat mengira bahwa emosi akan memenuhi seluruh jiwanya. Sebaliknya, dia hanya terdiam dengan kepala yang tertunduk.

"Anda tahu mengapa Anda tetap melakukan skenario merepotkan untuk menutupi keabadian Yang Mulia meski Anda sangat membenci hal yang merepotkan?"

Aku mengangkat wajah menatap Hamon yang juga sedang memandangku. Menelan ludah dengan susah payah, aku menatapnya lurus menunggu dia menyelesaikan kalimat.

"Yang Mulia menginginkan kehidupan yang tenang dan tentram tetapi secara bersamaan tidak masalah direpotkan dengan skenario yang Anda ciptakan sendiri. Anda tidak masalah membuat jalan cerita dan bahkan berpura-pura mati, melibatkan perempuan yang sama sekali Anda benci hanya demi skenario yang merepotkan ini.—

—Di mata saya, Yang Mulia belum sepenuhnya sembuh dan masih memiliki dendam dengan Kaisar sebelumnya. Tanpa Anda sadari, Anda seakan-akan ingin membiarkan anak yang berperan sebagai keturunan Anda merasakan masa kecil Anda di masa lalu dan pengabaian yang dilakukan oleh Kaisar sebelumnya. Padahal, kalau dipikir-pikir Anda sangat mampu untuk memanipulasi pikiran setiap orang tentang penampilan Anda, siapapun termasuk saya. Tetapi Anda tidak melakukannya."

Rahangku mengeras mendengar penjelasan Hamon Quante.

"Tetapi, ... Anda memperlakukan Tuan Putri dengan berbeda. Meski dia adalah penyebab sakit kepala Yang Mulia, Anda tetap memperlakukan dia sebaik dan selembut yang Anda bisa. Anda memberikan semua hal yang terbaik bagi Tuan Putri, termasuk waktu dan perhatian yang tidak Anda berikan pada siapapun kecuali pada pekerjaan dan tanggung jawab.—

—Sehingga, bila Yang Mulia memutuskan memberikan racun kepada Tuan Putri, saya tetap percaya kepada Anda," katanya dengan senyum tipis di bibirnya yang pecah.

Tepat setelah dia menyelesaikan kalimat, akusertamerta beranjak dari sana tanpa sepatah kata. Dadaku rasanya berkecamukmendengar apa yang disampaikan Hamon. Sebab, semua yang dia sampaikan adalahsebuah kebenaran yang tidak ingin kubenarkan.[]

Elora: My Little PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang