Chapter 32: The First Snow

1.7K 201 4
                                    

SEBENARNYA, apa yang kuceritakan kepada Hamon tadi hanyalah sebagian dari hal yang mengganggu pikiran. Tanpa diketahui oleh siapapun, aku merasa kekuatan kegelapan yang ada pada diriku mengalami perubahan entah sejak kapan. Hal tersebut juga diikuti oleh stamina tubuh yang tidak dalam kondisi seperti sebelumnya: terasa berat saat bekerja, sulit untuk fokus, mudah merasa lelah, dan tidak produktif.

Biasanya, jika merasa lemah dan sedang banyak pikiran, aku berolahraga dan berlatih pedang. Staminaku akan kembali seperti semula setelah itu. Namun, melakukan hal tersebut juga tidak memberikan efek apapun ke tubuhku.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menyebabkan kekuatan kegelapan milikku melemah diikuti dengan kekuatan fisik? Tidak ada yang terlintas di kepala selain kekuatan suci; dan tiga orang yang aku tahu memiliki kekuatan tersebut adalah Elora dan dua Utusan Dewa.

Apabila mengingat ke belakang, perubahan yang pertama kali terjadi setelah bertemu dengan Elora adalah sakit kepala. Perbedaan kekuatan suci dan kegelapan yang saling berlawanan dan mengeluarkan aura masing-masing memberikan efek ketidakstabilan mana milikku. Namun, karena sakit kepala itu sudah sangat jarang datang setelah lebih sering berinteraksi dengan dia; aku menjadi sangsi.

Satu-satunya yang tersisa adalah Utusan Dewa. Terdapat dua orang utusan yang pernah datang ke istana: Utusan Dewa yang berasal dari kuil suci di ibukota dan Utusan Dewa yang berasal dari Negara Suci.

Jika dipikirkan kembali, mereka pasti memiliki dendam karena aku membunuh salah satu Utusan Dewa yang disegani pada saat itu, di tahun CCCXIII kalender Kekaisaran. Bahkan masih teringat ketika dia datang memimpin pemberontakan tepat setelah aku selesai menggantung kepala Ratu Olivia di terali besi gerbang istana.

Para Utusan Dewa yang merasa marah dan juga sedih tanpa bisa melakukan apa-apa pada saat itu mempunyai peluang yang cukup besar untuk melakukan penyerangan; karena itu aku memaklumi ketika mereka menyusun rencana balas dendam. Tetapi, jika dari awal mereka ingin melakukan hal tersebut, mereka harusnya sudah melakukan itu ratusan tahun lalu.

Tetapi, yang terjadi justru mereka memenuhi panggilanku. Padahal Utusan Dewa dari Negara Suci dapat menolak perintah istana sedangkan Utusan Dewa dari kuil di Ibukota dapat ikut pindah ke Negara Suci setelah aku membunuh kakek itu di tahun CCCXIII kalender Kekaisaran. Namun, mereka justru bertahan di Adenium hingga saat ini. Padahal mereka tahu pasti bahwa di Adenium sendiri, sudah sangat sedikit sekali yang menganggap Utusan Dewa sebagai seseorang yang dihormati sejak aku membunuh Kakek Utusan Dewa.

Setelah penjabaran panjang lebar seperti ini, aku mulai sangsi dengan semuanya. Elora dan Utusan Dewa sama-sama memiliki peluang besar. Apalagi, aku yang memiliki kekuatan kegelapan tidak bisa merasakan kekuatan suci sehingga hanya bisa menerka-nerka jika seandainya ada kemungkinan lain di luar dari Elora dan dua orang Utusan Dewa.

Namun, jika dipikirkan kembali, apa yang aku alami mungkin saja adalah hukuman yang perlahan kuterima; menandakan bahwa saat yang telah ditentukan tidak lama lagi. Seperti ramalan Kakek Utusan Dewa yang kubunuh saat itu.

"Kaisar Altair de Adenium, segala kejahatan Anda akan mendapat balasan yang membuat Anda menyesal seumur hidup. Anda masih akan terus hidup sampai saat itu tiba. Saya berharap Anda menyukainya."

Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Elora memang sejak awal adalah seseorang yang diutus untukku. Masuk akal jika aku merasakan perubahan setelah bertemu dengannya. Meskipun demikian, aku tetap menganggap dia sebagai hadiah karena telah membuatku merasakan hal yang tidak bisa aku rasakan dari kecil.

Maka dari itu, setelah berinteraksi dengan Elora, aku telah mempersiapkan diri jika seandainya dia membunuhku. Mungkin, dibunuh lebih baik daripada membunuh. Sebab, jika suatu saat kegelapan menjadi tidak terkendali dan tangan ini kembali mengayunkan pedang ke tubuhnya; aku mungkin akan sangat menyesal jika seandainya dia tidak hidup dan mendatangiku kembali.

Dari awal, aku hanyalah sebagai wadah bagi kekuatan kegelapan setelah Raja Iblis mewujudkan ambisiku menjadi Kaisar. Jadi, tak masalah jika aku yang eksistensinya tidak jelas ini dihilangkan dari bumi. Aku tidak masalah asalkan yang melakukannya adalah Elora.

Tetapi, jika ada kemungkinan lain, semisal kegelapan menjadi sulit dikontrol karena staminaku melemah; aku harus mempersiapkan diri dengan baik. Sebab, ketakutanku yang lain adalah saat hilang kendali dan membunuh Elora di kehidupan yang sekarang.

Maka dari itu, sebelum terlambat, aku melakukan persiapan sesegera mungkin menuju Desa Forsythia meski matahari belum menampakkan diri; secepat mungkin mengembalikan kekuatan kegelapan dan menormalkannya kembali dengan mengisap saripati darah dari orang yang kubunuh. Oleh sebab itu, penjara pelanggaran sedang yang berlokasi di Desa Forsythia selanjutnya menjadi targetku.

***

Sembari memperbaiki jubah Kaisar yang berwarna hitam di depan cermin; aku mengintip pantulan Elora yang sedang tertidur pulas. Menarik sudut bibir ke atas dan membalik tubuh; aku mendekat. Kedua tangan dan kakinya saling berjauhan dan terbuka lebar sedangkan selimut yang dia gunakan telah tersingkap dan menjauh dari sang pemilik. Akhirnya, dengan gerakan pelan aku menyelimuti tubuh mungil itu; menarik selimut hingga menutupi leher lalu membelai kepalanya.

Setelah puas mengamati dan menyentuh, aku menegakkan tubuh dan berbalik. Tetapi, tarikan pelan di jubah kemudian membuatku menghentikan langkah dan membalik badan dengan cepat. Elora memandangku datar dengan mata yang masih mengantuk. Tangannya yang bebas kemudian dia gunakan untuk mengucek mata sebelum mengubah posisinya menjadi duduk di tempat tidur.

"Papa mau ke mana?"

"Desa Forsythia."

"Papa tidak akan meninggalkan El, 'kan?"

"Tidak akan."

Aku menjawab sembari mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. Membalik badan dan mengubah posisi menjadi berhadapan dengannya. Tangan kananku kemudian terulur membelai puncak kepala Elora sembari berkata,

"Aku akan kembali. Secepatnya. Jadi, tidurlah kembali."

"Janji?"

"Janji."

Aku meraih kedua tangan mungil itu dan membawa dia ke dalam pelukan. Memosisikan tubuh mungilnya duduk di atas pahaku. "Kalau ingin sesuatu, beritahukan kepada Hamon. Jika ada yang membuat masalah denganmu laporkan kepadaku dan Hamon. Tetapi, karena selama beberapa hari ke depan aku akan bekerja, jadi beritahu Hamon saja. Dia akan segera membereskannya."

Baru saja hendak melepas pelukan dan menjauhkan tubuhnya; dia menatapku dengan pandangan berbinar sebelum berdiri dan kembali masuk ke dalam pelukanku sekali lagi. Mengalungkan kedua tangan di leher sedangkan kepalanya bersandar di pundak kiri, dia berkata pelan,

"Papa halus kembali dengan selamat."

"Aku berjanji."

Dia akhirnya melepas pelukan dan kembali masuk ke dalam selimut; membaringkan tubuhnya di tempat semula sedangkan aku dengan sigap memperbaiki selimut yang dia acak-acak. Sebelum beranjak, aku mendekatkan wajah, mencium pelan dahinya, lalu berkata dengan nada pelan,

"Jangan nakal."

"El tidak akan nakal."

Aku terkekeh kemudian mengacak rambut kuningnya sekali lagi sebelum benar-benar beranjak. Ketika telah sampai di depan pintu; aku menghentikan langkah dan menoleh. Elora melambaikan tangan sembari tersenyum lebar dan berkata,

"Papa hati-hati di jalan."

"Tidurlah lagi."

Dia langsung mengiakan sementara aku tanpa sadar tersenyum tipis. Berbalik dan menarik kenop pintu ke bawah; dua orang ksatria bersama Hamon segera menyambut begitu mereka melihatku dari celah pintu. Dengan gerakan pelan merapatkan pintu kamar; aku mengangkat wajah memandang mereka semua.

Mereka menunduk memberi hormat lantas serempak berucap, "Hati-hati di jalan, Yang Mulia."

Aku mengangguk kemudian berjalan melewati mereka bersamaan dengan aku dan Hamon yang saling melirik; berkomunikasi lewat tatapan mata; sebelum aku akhirnya memutus kontak lebih dulu dan melangkah lebar-lebar melewati koridor istana utama.[]

Elora: My Little PrincessWhere stories live. Discover now