Chapter 23: Acknowledge and Accept

2.1K 275 14
                                    

DARI jendela kamar yang dibiarkan terbuka; aku dapat melihat bayangan pohon-pohon yang berwarna jingga diterangi cahaya dari obor; tumbuhan perdu-perduan yang berwarna kemerahan dan kecoklatan; dan suara hewan-hewan malam, seperti kicauan burung gagak yang terbang di atas taman istana. Bersama dengan angin malam musim gugur yang meniup kulit, aku mengeratkan jubah berbulu yang telah diberi sihir.

"Di mata saya, Yang Mulia belum sepenuhnya sembuh dan masih memiliki dendam dengan Kaisar sebelumnya."

Perkataan Hamon masih terngiang di kepala. Sepenuhnya, membekas di hati meski berupaya dihalangi ratusan kali. Ada sedikit perasaan kaget dan ego yang mendominasi; tidak pernah menyangka bahwa dia akan mengetahui apa yang sebenarnya kurasakan melebihi diri sendiri. Aku tidak berniat menyangkal atau mempertahankan ego, namun kebenaran yang dikatakannya adalah sesuatu yang ingin kupendam tanpa diketahui oleh orang lain bahkan diri sendiri.

"El sayang Papa! Sangat sayang!"

Kepalaku kemudian kembali memutar perkataan terakhir Elora sebelum dia memejamkan mata. Lalu, di detik selanjutnya telingaku berdengung dan secara cepat potongan-potongan mimpi semalam bergantian menampakkan diri.

"Aku sayang Papa. Walau Papa mau membunuhku sekalang."

Aku mengatur napas yang tidak beraturan. Mimpi-mimpi aneh yang dimulai sejak kemarin malam terus berdatangan tanpa henti ketika sedang melamun atau ketika sedang memikirkan sesuatu. Pikiranku kemudian berkecamuk. Akhirnya, aku berbalik dan berjalan cepat keluar kamar; berupaya meluruskan benang kusut yang ada di kepala dengan mencari angin malam.

Langkah kaki kemudian membawaku menuju gedung serbaguna. Lalu, di detik selanjutnya aku mendapati diriku telah berada di dalam ruang pendisiplinan. Sertamerta menertawakan diri sendiri ketika menyadari lagi-lagi aku kembali kepada Hamon saat membutuhkan teman mengobrol.

"Ada urusan apa Yang Mulia datang tengah malam begini?"

Memilih tidak menjawab, aku berjalan mendekat dan melepas rantai yang mengekang pergelangan tangan dan kakinya. Meski merasa kebingungan, dia tidak bertanya dan mengikutiku berjalan keluar ruang pendisiplinan dengan langkah tertatih. Melewati koridor dan beberapa pintu, aku berhenti di salah satu pintu yang menghubungkan ruang bersantai.

Melangkah masuk setelah membuka pintu dengan mantra, Hamon mengikut di belakang sembari menyeret tubuhnya dengan langkah pelan. Sertamerta mendudukkan diri di sofa begitu sampai; aku memberinya kode agar ikut duduk di sofa yang berseberangan denganku. Menjentikkan jari kemudian meja kecil yang kosong tiba-tiba diisi oleh berbagai macam makanan mulai dari makanan ringan yang mudah dicerna hingga makanan berat.

"Temani aku minum."

Dia bersandar di sandaran sofa sembari mengaduh. Bergerak sangat pelan dengan tubuh yang penuh luka dan darah. "Saya hanya akan duduk dan mendengarkan Yang Mulia. Jika Anda ingin mendengar pendapat saya, maka akan saya berikan. Tetapi, saya tidak bisa menemani Anda minum."

"Kenapa?"

"Karena saya belum boleh makan."

Aku menuang anggur merah di gelas Bordeaux sembari berkata, "Kau sudah bisa makan. Aku sengaja menyiapkan makanan yang mudah dicerna."

"Sebenarnya pun, ...." Dia berkata sembari tersenyum kecil, "Saya masih kesulitan untuk berbicara. Namun, bagi Yang Mulia saya bisa memaksakan diri." Tangannya kemudian terulur mengambil gelas yang berisi air putih lalu meneguknya sampai habis. "Jadi, apa yang mengganggu pikiran Yang Mulia?" Dia bertanya setelah memuaskan dahaga.

"Aku bermimpi tentang sesuatu yang aneh sejak kemarin malam." Menaruh atensi pada anggur merah yang ada di gelas, melanjutkan, "Perkataan-perkataan itu terus terngiang di kepala dan membuat telingaku berdengung."

Elora: My Little PrincessWhere stories live. Discover now