Chapter 12: Chrysanthemum: Flower of November - Part 4

3.4K 331 2
                                    

HAMON melaporkan bahwa kematian 20 orang tersebut telah dimakamkan dengan layak dan keluarga mereka telah diberi uang kompensasi yang lumayan besar. Walau demikian, tentu saja itu tidak bisa meredam kesedihan karena ditinggalkan.

Meski penduduk Petunia marah dan tidak terima; mereka tetap tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah pada keadaan. Tidak ada pilihan selain tunduk patuh sembari meredam keinginan balas dendam. Kekuasaan dan kekuatan yang tidak bisa dilawan serta otoritas yang bersifat mutlak; sebagai kaum yang tidak memiliki kekuatan; diam adalah sebuah usaha untuk bertahan hidup.

Malam itu menjadi sejarah kelam Petunia yang sialnya terjadi tidak lama setelah bergabung ke dalam Adenium. Kejadian yang akan membekas di seluruh ingatan karena takdir Petunia mempunyai pemimpin sepertiku.

Atau haruskah disebut sebagai kemalangan? Karena kata takdir terlalu bagus untuk menggambarkan tragedi tersebut.

***

Kedinginan musim gugur menyebar pada atmosfer pagi ini. Kesatria berbaris di sisi kanan dan kiri; lalu di belakangnya, penduduk Petunia menunduk hormat. Aku berjalan lurus mengabaikan mereka. Tidak mengharap pelepasan yang normal apalagi senyuman palsu. Datang untuk mengantar kepergianku pun juga merupakan kesulitan besar.

"Selamat jalan, Yang Mulia." Duke Astello mewakili semua orang. Dia menunduk hormat; melepas kepergianku sesopan mungkin diikuti Count Cantaloupe dan seluruh Petunia. Meski harus memasang wajah seperti tidak ada yang terjadi; atmosfer selalu mengatakan kejujuran.

Kusir menutup pintu kereta kuda begitu aku memberi tanda. Tak lama kereta pun berangkat. Seperti sewaktu ke sini; perjalanan menuju istana juga ditempuh dengan membuka gate yang berada di perbatasan antara Petunia dan Burnet. Menempuh waktu kurang lebih 25 menit; kita akan tiba di tanah lapang yang sangat luas dan dikelilingi oleh hutan di kanan-kirinya.

Salah satu jalur tempuh kereta kuda melintas adalah di jalan setapak dekat hutan-tempat pertemuan pertamaku dengan Elora. Ingatan tentang hari itu muncul kembali ketika melewatinya. Saat aku mengalahkan perompak; saat Hamon menyusup masuk ke hutan; saat dia muncul dari dalam karung goni; dan saat dia akhirnya ingin kubunuh namun tidak jadi.

"Papa."

Aku menoleh. Tangannya yang menggenggam sesuatu dia ulur ke depan; menarik sudut bibir ke atas; pandangan yang bersinar; lalu pipi tembem yang terangkat; dia berkata dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi susunya.

"Dion membeliku ini," ucapnya sembari menunjukkan sekuntum bunga krisan berwarna kuning yang sudah diawetkan menggunakan mana. "Cantik, 'kan? Katanya ini milip dengan lambut El."

Aku mengerutkan dahi. "Dion?"

"Dia teman balu El!"

"Teman?"

"Ya."

Melipat tangan di depan dada, memicingkan mata, bertanya, "Sejak kapan?"

"Kemalin." Dia menarik tangan, meletakkannya di atas paha. "Saat belkeliling, Dion menghampili El dan membelikan ini. Lalu, Hamon membuatnya tidak layu."

Dia terus memandangi bunga itu tanpa melepas senyum lebar di wajah. Seluruh perhatiannya mengarah ke sana. Kereta kuda jadi tidak bising dan aku tidak perlu membuang tenaga menjawab pertanyaan atau rasa ingin tahunya. Tetapi, tiba-tiba aku penasaran.

Seandainya waktu berputar dan aku kembali lagi di saat itu; apakah pilihan membunuh Elora adalah keputusan yang lebih tepat?

***

Elora: My Little PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang