Chapter 25: Coming Back from the Dead

2K 266 2
                                    

SETELAH berita Elora tidak sadarkan diri selama 3 hari tersebar, aku mendapat kabar bahwa Duke Astello yang saat ini berada di Petunia menuju ke ibukota. Tidak hanya itu, seluruh istana berubah menjadi kacau semenjak dia kehilangan kesadaran diri. Manusia-manusia yang tulus dan yang memiliki tujuan tertentu berbondong-bondong mengirimkan hadiah dan ucapan lekas sembuh. Tidak terkecuali para pelayan.

Aku mengakui bahwa atmosfer istana memang berubah semenjak dia hadir. Tetapi, aku tetap tidak menyangka bahwa perubahannya akan menjadi sebesar ini. Makhluk lemah yang kecil itu ternyata memiliki kemampuan melebihi besar tubuhnya. Bahkan dia berhasil mengubahku yang nyaris tertelan kegelapan ini meneteskan air mata.

"Yang Mulia menggunakan darah milik Yang Mulia sendiri?" Duke Astello langsung menyerangku dengan pertanyaan begitu membuka pintu; masih dengan mantel yang melekat di tubuh dan napas yang terengah-engah. "Anda tahu kalau darah Anda adalah racun terkuat di dunia ini? Tidak ada yang bisa selamat jika meminum racun yang terbuat dari darah iblis."

Dia menatapku dengan pupil mata yang bergetar. Air mukanya menunjukkan kekhawatiran yang dalam. Tetapi, mengetahui fakta bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan; itu terasa lebih menyesakkan. Sebab, meski bagaimana pun menolak, dia tidak mungkin melawan Tuan yang dilayaninya dengan segenap jiwa.

"Yang Mulia, Anda sedang mempermainkan saya, 'kan?"

"Tidak."

Duke Astello tidak menjawab dan mengepal kedua tangan erat-erat. Hatinya pasti berkecamuk namun saat itu aku juga tidak mempunyai pilihan. Ini semua demi mencari tahu identitas asli Elora sebelum ingatan itu datang dalam bentuk mimpi. Aku kemudian menghela napas dan melepas kacamata baca. Bangun dari duduk, mengitari meja, dan berjalan melewati Duke Astello; menghentikan langkah dan berkata,

"Ikuti aku."

Sepanjang melewati koridor, kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing. Duke Astello pasti sedang dilema, tetapi aku yakin bahwa dia mengetahui alasanku melakukannya. Lalu, selama 3 hari ini, keyakinanku bahwa Elora memiliki kekuatan suci naik sebanyak 90 persen setelah mendapat tiga hipotesis dari semua kejadian yang telah terjadi sampai saat ini: sakit kepala setelah bertemu dengannya, ingatan di masa lalu bahwa dia telah mendatangiku sebanyak dua kali, dan fakta bahwa dia hidup kembali setelah dua kali terbunuh.

Hari ini adalah penentuan. Jika Utusan Dewa dari Negara Suci yang kuperintahkan 2 hari lalu telah tiba, maka semuanya akan menjadi jelas.

Leocadio keluar ketika aku ingin membuka pintu kamar. Dengan raut wajah yang khawatir, dia menunduk hormat dan melangkah keluar sembari bergeser ke samping; memberikan jalan. Ketika masuk, kepala tabib istana dan pemimpin menara sihir yang berdiri tidak jauh dari tempat tidur Elora kemudian mundur ke belakang dan menunduk memberi salam.

"Bagaimana keadaannya?"

Kepala tabib istana mulai menjelaskan situasinya. "Saya telah memeriksa nadi dan seluruh tubuh Tuan Putri, memastikan berulang kali dan terus-menerus, namun sepertinya beliau sudah meninggal. Maafkan saya, Yang Mulia."

"Pemimpin menara sihir."

"Maaf karena berkata seperti ini, tetapi sepertinya Tuan Putri sudah tidak bisa diselamatkan. Racun tersebut telah menyebar ke seluruh tubuh dan telah sampai ke jantung. Saya tidak dapat merasakan mana Tuan Putri. Tolong maafkan saya, Yang Mulia."

Aku terdiam selama beberapa saat karena lidahku terasa kelu. Rasanya ada banyak yang ingin kutanyakan namun itu semua menguap dan hanya kutelan meski dengan susah payah. Sementara itu, yang dapat kudengar adalah tangisan Ibu Asuh, para dayang, dan pelayan yang melayani Elora.

"Semuanya keluar. Kalau Utusan Dewa dari Negara Suci telah tiba, suruh dia masuk."

Ketika memastikan seluruh orang telah keluar dan mengosongkan ruangan, aku berjalan ke tempat tidurnya. Menatap dia lama, duduk di kursi kayu dan mengambil tangannya; menyentuh jemari mungil itu yang telah dingin.

"Aku menyuruhmu untuk bangun dan menemuiku lagi. Apa kau sudah lupa?"

Tentu saja dia tidak menjawab dan tidak memberikan respon. Tetapi, aku tetap berbicara kepadanya meski tahu itu adalah perbuatan yang sia-sia.

"Bangunlah."

Tak lama, suara pintu yang diketuk terdengar. Setelah Leocadio memberi tahu kedatangan Utusan Dewa, dia sertamerta membuka pintu dan masuk. Dia mendekat sedangkan aku bangun dari duduk. Membiarkan dia memeriksa keadaan Elora. Lalu, ketika tangan Utusan Dewa mulai menempel di dahinya, cahaya putih seketika keluar. Tubuh mungil itu bersinar selama beberapa saat. Rambutnya yang berwarna kuning mengeluarkan sinar yang paling terang.

Kemudian, dari tempatku berdiri, aku dapat melihat sebuah goresan muncul di leher Elora. Kedua tanganku seketika gemetar. Itu adalah bekas tebasan pedang.

"Yang Mulia."

Panggilan Utusan Dewa menyadarkanku kembali. Segera menoleh; dia melanjutkan, "Meski lemah, saya merasakan kekuatan suci dari tubuh Tuan Putri. Syukurlah, dengan demikian dia bisa selamat dan telah lepas dari keadaan kritis. Lalu, mengenai goresan yang ada di leher Tuan Putri—"

Jantungku seakan berhenti bersama dengan kalimat Utusan Dewa yang dijeda.

"... Saya baru pertama kali menemukan kasus yang seperti ini sehingga saya kurang yang yakin dengan jawaban saya."

"Apakah itu berbahaya?"

Dia terlihat kebingungan. Memperhatikan goresan tersebut lalu kembali menoleh kepadaku. "Sepertinya tidak, Yang Mulia."

Aku sertamerta mengembuskan napas lega.

"Tetapi, saya akan berusaha mencari tahu."

"Tidak usah." Aku menatapnya datar. "Dia kembali bangun pun itu sudah cukup. Kau boleh keluar."

Utusan Dewa menunduk memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan. Setelah mendengar pintu ditutup rapat, aku kemudian mendekat perlahan. Menyiapkan hati sebelum membuka kancing di gaun tidur Elora dan seketika tanpa sadar menahan napas. Seperti dugaan, ada goresan yang berbentuk diagonal di bagian dadanya.

Mengancingkan kembali gaun tidur, aku duduk di kursi kayu yang terletak tepat di pinggir kasur Elora. Menyandarkan punggung di sandaran kursi dan memejamkan mata; aku menghela napas panjang. Goresan melingkar di leher adalah bekas tebasan pedang ketika dia pertama kali menemuiku sedangkan goresan diagonal di bagian dada adalah bekas tebasan pedang ketika dia menemuiku untuk yang kedua kali.

Tangan yang diletakkan di atas paha kemudian kukepal erat. Aku tiba-tiba menjadi takut.

Menutup kedua mata menggunakan tangan; perasaanku mendadak berubah tidak enak. Mengingat dari kehidupanku yang dulu, kejadian berulang biasanya hanya terbatas pada tiga kali. Jika lewat dari itu, maka tidak ada lagi.

Seandainya, kegelapan mengambil alih dan aku kehilangan kesadaran diri seperti di kehidupan pertama dan kedua Elora, ...

... dia tidak akan kembali lagi.

Aku kemudian menggenggam erat tangan mungil itu tanpa berniat beranjak dari sana. Hingga matahari terbenam dan rembulan kembali ke posisinya, aku duduk terjaga semalaman bersama dengan perasaan bersalah dan tanggung jawab yang ditinggalkan dengan sengaja.[]

Elora: My Little PrincessWhere stories live. Discover now