19

2.1K 201 14
                                    

Berlin, Jerman

Pear masih terus berusaha menghubungi Win yang sejak kemarin tidak mengangkat telponnya. Bukan hanya telponnya, pesannya pun Win tidak membalasnya sama sekali.

Sambungan telponnya terhubung. Namun Win tidak mengangkatnya sama sekali. Itu membuat Pear merasa ingin meledak. Anaknya juga sejak kemarin terus merengek memanggil nama Win.

Sang putri satu-satunya juga sampai tidak ingin makan. Ke sekolah pun ia enggan. Makanya emosi Pear tidak dapat terkontrol.

Sejak Win bertemu dengan Bright di kantornya yang secara tidak sengaja. Ia merasa Win sangat berubah. Bukan Win yang ia kenal 9 tahun belakangan ini. Baru kali ini Win menghiraukannya dan juga anaknya.

"phi Win.. tunggu saja. Kau dan Bright tidak akan pernah bersatu. Kalian tidak akan pernah bersatu" emosinya kembali menyala.

Suara tangisan anaknya terdengar kembali. Pear keluar dari kamarnya. Dan melihat putrinya yang tengah berlari menangis mencari Win.

Kath yang melihat majikannya. Langsung mendekap Kiya masuk ke dalam pelukannya.

"Kiya berhentilah menangis. Bunda capek dengar Kiya menangis terus sejak tadi" ujar Pear membentak anaknya. Sekarang Pear juga sering membentak anaknya.

Kiya yang mendengar bentakan sang bunda. Meredahkan suara tangisannya pada bahu pengasuhnya. Kath yang merasakan badan Kiya menegang memberikan bisikan penenang. "sudah yah sayang. Kiya jangan nangis lagi yah. Nanti papi gak beliin Kiya mainan" bisiknya

"bawa Kiya ke kamarnya. Jangan biarkan ia keluar kamar. Aku pusing mendengarnya menangis terus" perintahnya pada Kath. Kath yang di perintah hanya mengangguk mengiyakan.

Pear meninggalkan Kath begitu saja setelah memberikan perintahnya. Kath membawa Kiya yang masih menangis diam di bahunya.

Pintu kamar anak kecil itu terbuka. Kamar yang di dekorasi begitu cantik sama seperti wajahnya. Banyak boneka serta mainan yang tertata rapi di lemari mainannya. Nuansa kamarnya juga begitu feminim.

Dengan perlahan Kath mendudukkan Kiya di pinggir tempat tidurnya. Wajah anak ini kini nampak sangat berantakan.

"Kiya menangisnya udahan yah. phi Kath jadi sedih melihat Kiya seperti ini" memang benar. Kath begitu sedih melihat Kiya seperti ini.

Entah darimana datangnya keberanian Kath. Ia ingin menghubungi tuannya itu. Melihat Kiya seperti ini membuat dirinya juga ikut sedih.

Air mata Kiya masih terus saja mengalir. Menatap Kath yang berada di depannya. "phi Kath, Kiya rindu papi hiks" suaranya sudah menghilang akibat tangisannya tidak berhenti sejak tadi.

"iya sayang. Sabar yah. Papi sepertinya masih sibuk di sana. Jadi papi belum bisa menelpon Kiya. Nanti. Nanti kita telpon papi lagi yah sayang. Tapi Kiya harus berjanji dulu sama phi Kath"

Kiya mengangguk sambil menghapus air matanya dengan tangan kecilnya. "apa itu phi Kath"

Tangan Kath menggenggam tangan kecil Kiya masuk ke dalam genggamannya. "Kiya tidak boleh ngomong ke bunda jika kita sedang menghubungi papi yah. Kiya bisa janji?" Kath menyodorkan jari kelingkingnya ke depan.

Kiya mengangguk dan menautkan jari kelingking kecilnya pada jari kelingking Kath di depannya. "Kiya janji"

"baiklah sekarang Kiya tidur dulu. Siang nanti setelah makan siang, kita telpon papi."

***
Siang harinya setelah makan siang di kamarnya. Kiya sudah duduk di kursi tempat bermainnya. Kath yang duduk disamping Kiya tengah menarik nafasnya untuk menghilangkan rasa gugupnya.

I am sorryKde žijí příběhy. Začni objevovat