🦋 | Bab Dua Puluh Empat

5.7K 398 32
                                    

Bab Dua Puluh Empat
~~~🦋~~~

Raiden duduk di luar taman rumah sakit, kepala pria itu tertunduk lemah. Tepat dua Minggu sudah berlalu setelah Nisa koma, dan belum juga tersadar dari tidur nyenyak itu.

Sesak dan gelisah tidak bisa Raiden pungkiri lagi. Sedih rasanya melihat orang yang pria itu cintai sedang terkapar di atas bad tanpa tahu kapan mata cantik itu terbuka dan kembali menyebarkan senyum manis kepada Raiden dan Daniel.

Rindu tak bisa dibendung lagi, hati Raiden sangat merindukan kehadiran Nisa di setiap hari-harinya bersama Daniel. Begitu berat langkah pria itu ketika menjalani waktu lepas watu tanpa keberadaan Wanita yang dicintainya itu.

Tepat setelah dua hari Nisa berada di RS Cinta, Raiden memilih untuk memindahkan Nisa—tentu saja setelah meminta izin dari orang tua Nisa dan Dimas, untung saja mereka menyetujui tawarannya—Ke rumah sakit tempat Ia bekerja. Lebih baik Nisa di tempat yang sama dengan Raiden dan Dimas dibandingkan dengan di Malang, karena lokasi RS Cinta yang cukup jauh jika dari Surabaya harus pulang pergi.

Selama dua Minggu ini juga, Daniel selalu menanyakan keberadaan Nisa dengan menyebutkan kata ‘bunda’ dan ‘auni’, hati Raiden kembali diremas hingga hancur ketika mengingat wajah Nisa di RS yang sudah terlalu lama berbaring.

“Dokter, kalau tidak keberatan?” Dimas yang entah darimana datangan, dan mengulurkan tangan yang di dalam genggamannya terdapat susu kaleng berwarna putih.

Raiden yang lelah hanya bisa tersenyum sembari menerima kaleng susu itu dan membuka penutup kaleng tersebut.

Hari menunjukkan pukul setengah lima sore, matahari sudah berada di penghujung gedung-gedung dan siap untuk di telan bumi, sedikit lagi Raden harus menjemput Daniel yang kemudian terpaksa ia taruh lagi di Daycare.

“Dokter istirahat, jangan terlalu capek, kak Nisa pasti sedih kalo lihat keadaan Dokter seperti sekarang,” ujar Dimas sambil menatap lurus Raiden.

Keadaan Raiden memang berantakan setelah mendengar kabar Nisa. Pria itu bahkan tidak memperhatikan penampilannya lagi, padahal ia adalah sosok yang sangat konsisten dalam mengurus diri sendiri. Namun sekarang, jangankan memakai masker, mencukur kumis saja tidak ada niat. Raiden juga tidak merapihkan rambutnya dengan benar, hingga kini sudah agak panjang. Mungkin yang Raiden tahu setelah bangun tidur adalah pergi ke RS sesudah mengurus Daniel.

Sungguh, Raiden sama sekali tidak memiliki semangat dalam menjalani kehidupannya. Pria itu menjadi lebih murung daripada sebelum-sebelumnya. Untung saja ada Daniel.

Setiap hari, Raiden selalu pulang pergi dari Stase Obgyn ke kamar rawat Nisa pun sebaliknya. Selalu seperti itu dengan harapan-harapan yang ia panjatkan kehadirat Tuhan. Pria itu bukan sosok yang religius, bahkan ke tempat ibadah saja, bisa dihitung pakai jari, namun kali ini, di masa ini, Raiden benar-benar menyerahkan diri dan semua doa-doanya kepada yang di Atas.

Dimas berdehem. “Dokter nggak jemput Daniel? Udah mau jam enam,” tegur pria itu, mengingatkan Raiden yang kembali berkutat dengan pikirnya.

“Nanti kalau ada kabar tentang kak Nisa, saya kasih kabar ke dokter secepatnya,” lanjut Dimas, seakan mampu membaca apa yang ada di pikiran Raiden dengan hanya menatap mata pria satu anak itu.

Raiden menepuk pundak Dimas. “Makasih, Dimas,” ungkapnya. “Saya pergi dulu.”

Dimas mengangguk seraya tersenyum kecil. Lalu menatap kepergian dokter Obgyn tersebut yang melangkah jauh darinya. Terdengar suara hembusan napas panjang yang keluar dari cowok itu, sama-sama merasakan apa yang Raiden alami.

Pengasuh Bayi Dan Dokter ✓Where stories live. Discover now