32 - The Day

127 20 2
                                    

Happy reading^^

•••

|Aeera|


Setelah masalah dengan Tante Naura selesai, gue menjadi lega karena tidak penasaran lagi dengan yang terjadi tujuh belas tahun lalu, tepat saat kelahiran gue dan apa saja yang terjadi antara Tante Nau, mama Ilona dan papa Alta. Semuanya sudah beres. Tapi setelah itu, Cakra malah menjaga jarak dari gue, cowok itu selalu menghindar. Padahal sudah ditegaskan bahwa gue tidak marah atau benci. Tentang Cakra, gue membiarkan kami berjarak seperti ini. Biarlah, dia akan gue urus nanti setelah pertandingan karate. Dia tidak pernah betul-betul menjauh, sama seperti gue, Cakra nggak akan tahan jika kami perang dingin seperti ini.

Pertandingan karate tinggal tujuh hari lagi. Gue selalu latihan dengan giat dan sungguh-sungguh. Seperti sekarang, semua anggota ekskul karate sudah pulang kecuali Reza dan Koko Sensei, tapi gue masih betah di lapangan indoor, masih betah latihan.

"Heh, Ae pulang sana, ruangan ini mau di kunci," seru Koko Sensei.

"Nanti Ae yang kunci, Sensei aja yang pulang."

"Ae, gue tau lo pengen banget menang sampe latihan terus. Tapi lo juga harus istirahat, jaga kondisi badan, jangan sampai sakit pas hari H."

"Iya, gue di sini setengah jam lagi kok."

Koko Sensei menepuk jidat, menoleh pada Reza. "Ja, coba lo kasih tau cewek keras kepala itu."

"Iya, Aira, sekarang waktunya pulang."

Gue menghela napas, memilih menurut. Baik, sesi latihan hari ini cukup sampai di sini. Memang benar sih kata Koko Sensei, gue juga harus menjaga kondisi badan agar tidak kelelahan dan jatuh sakit.

"Heh, kok kalau si Reja yang ngomong lo nurut sih? Kan di sini yang sensei itu gue. Harusnya lo nurut sama gue." Koko Sensei berseru protes, menunjuk-nunjuk wajah gue dengan sebal. Gue juga bingung sendiri, kenapa ya gue langsung nurut sama Reza?

Kami bertiga keluar dari lapangan indoor, Reza mengunci pintunya lalu kami berjalan bersisian di sepanjang lorong. Di persimpangan, Reza berbelok hendak memberikan kunci ke staf yang ada di TU, gue malah mengekori cowok itu. Koko Sensei juga ikut berjalan di belakang gue. Reza sudah seperti induk ayam saja.

"Kok pada ikut?" tanyanya heran, setengah risih karena terus diikuti. Sekarang kami berjalan berbaris seperti gerbong kereta.

"Nggak tau," jawab gue.

"Nggak tau juga," jawab Koko Sensei.

Reza menghela napas, berusaha sabar menghadapi keanehan Koko Sensei. Iya, cuma Koko Sensei yang aneh. Gue mah engga.

"Sensei gaje banget sih, ngapain coba ngikutin Reja?" tanya gue.

"Lah, lo juga sama aja."

"Nggak dih, gue ngikutin Reja karena mau pulang bareng dia." Kami sudah sampai di depan ruang TU, hanya Reza yang masuk. Gue masih ada urusan sama Koko Sensei jadi nggak ikut ke dalam.

"Lah, gue justru mau nebeng sama Reja. Motor gue mogok lagi."

Wah, tidak bisa dibiarkan. Gue juga mau nebeng sama Reja karena tadi pagi berangkat bareng Sak, cewek itu sudah pulang duluan. Demi tidak mengeluarkan ongkos, jadilah gue memutuskan untuk pulang bareng Reza saja. Gue dan Koko Sensei akhirnya berdebat, memperebutkan boncengan motor Reza.

Ketika Reza keluar dari ruang TU, gue langsung bertanya padanya. "Ja, lo pilih gue atau Koko Sensei?"

Tentu saja dia bakal bingung. Gue memang tidak mau menjelaskan lebih detail. "Maksudnya? Memilih dalam hal apa?"

You Are Brave [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang