12 - Extracurricular

122 24 2
                                    

Hallo, sudah siap baca bab ini?
Tetap aware ya sama detail kecilnya, hehehe

Jangan lupa vote dan komen:)
Happy reading^^

•••



|Aeera|


Seperti rencana sebelumnya, setelah pulang dari kafe, gue langsung menuju kamar dan rebahan di sana. Betulan langsung rebahan tanpa melepas seragam dan sepatu lebih dulu, berharap bisa tidur siang secepatnya. Namun sayangnya, mata ini nggak bisa diajak untuk memejam. Mata ini lebih suka menatap langit-langit kamar sambil berpikir.

Terkadang, ada waktu dimana manusia akan merenung, berpikir banyak hal tentang hidupnya. Bertanya-tanya tentang tindakan yang sudah dilakukan hari ini, juga kemarin. Menerka-nerka pula akan seperti apa wujud masa depan itu. Setelah puas merenungi banyak hal, biasanya mereka akan kembali bangkit dengan semangat yang baru meski beberapa orang hanya terjebak dalam renungan, tidak keluar untuk berdiri setelahnya.

Sambil menatap cicak di langit-langit kamar, gue berpikir tentang misi yang diberikan Ramon. Semuanya masih tampak membingungkan. Awalnya Ramon hanya ingin mengawasi bundanya karena curiga bundanya selingkuh. Catat hanya mengawasi. Lalu kemudian gue mulai mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan hingga akhirnya misi itu berubah menjadi awasi bunda Ramon dan memastikan apa hubungan beliau dengan pria lain itu.

Sebenarnya apa yang sedang dicari Ramon? Sedari awal dia sudah begitu yakin bundanya selingkuh, lalu buat apa lagi diawasi? Dan jika dia ingin tahu apa yang sebetulnya terjadi antara dua orang dewasa itu, Ramon cukup bertanya saja pada bundanya, kenapa harus melibatkan gue?

Selesai berpikir tentang misi Ramon, kini otak gue loncat memikirkan hal lain. Tentang ayah, bunda dan Anjani. Mereka sebegitu nggak sukanya sama gue sampai semua hal tentang diri gue selalu diremehkan. Tentu saja semua terjadi karena satu alasan, penyebab mereka bersikap demikian. Alasan itu adalah ... Ah tidak, gue masih nggak berani mengungkit hal itu.

Semua posisi tidur sudah gue coba, terlentang, miring ke kanan, miring ke kiri sampai akhirnya telungkup, namun mata ini masih enggan memejam. Gue bangkit dari pembaringan, mengacak-acak rambut seraya berjalan ke meja rias. Terlihat wajah lecek berkeringat serta rambut berantakan dari pantulan cermin, gue fokus menatap bola mata sehitam jelaga di sana, bola mata yang menyimpan satu rahasia kecil.

"Mata lo jelek," kata gue sambil terkekeh, sosok dalam cermin ikut terkekeh. Ya iyalah, malah serem kalau bayangan gue nggak ikut ketawa.

Rencana tidur siang hari ini gagal total akibat mata gue yang lagi aktif, dipaksa buat tidur pun malah tidak bisa. Akhirnya gue memutuskan untuk keluar kamar, bertepatan dengan Jani yang juga baru keluar dari kamarnya. Cewek itu menatap gue dari atas sampai bawah, lantas berdecak keras. Apa lagi salah gue astaga?

"Bisa nggak sih sepatu lo dibuka? Ngotorin lantai aja. Seragam lo juga ganti kek, bau keringet," katanya ketus.

Tanpa banyak bicara gue melepas sepatu yang sedari tadi masih menempel, juga dengan kaos kakinya yang ketika didekatkan ke hidung bikin nyaris muntah.

Rupanya bau kaos kaki gue terendus oleh Anjani juga. "Ish, jorok banget! Udah berapa lama nggak ganti kaos kaki, huh?" Jani menutup hidungnya, bergidik ngeri kemudian melengos pergi.

Gue kembali masuk ke kamar, menyimpan kaos kaki di keranjang cucian, lalu mengganti seragam dengan kaos tanpa lengan warna putih dan celana selutut. Cuaca sedang panas dan gue merasa gerah, karena itu memilih kaos tanpa lengan. Sebelum menuju meja makan, gue meletakkan sepatu sekolah di rak ledih dulu.

"Uwaah, ayam goreng," seru gue ketika melihat menu makan siang yang dimasak oleh Bi Nia. Ayam goreng, sambal dan lalapan, sungguh perpaduan yang paling nikmat.

You Are Brave [END]Where stories live. Discover now