22 - It's No Use

88 19 1
                                    

Jangan lupa vote, happy reading^^

•••

|Aeera|

Pagi ini gue terus memasang muka datar dan dingin, begitupun ketika sarapan bersama, nggak banyak bicara apalagi mengomentari masakan Bi Nia. Gue biasanya suka berisik kalau sudah bertemu masakan Bi Nia, mengoceh ini-itu. Tapi sekarang tidak, kepala gue masih pusing dan berdenyut, sibuk memikirkan langkah selanjutnya.

Gue belum menghubungi Ramon, belum bertanya apa dia betulan menerima perjodohan dengan Anjani? Semalam sehabis mengamuk di ruang kerja ayah, gue langsung keluar rumah, menginap di rumah Cakra dan segera tertidur kelelahan. Gue balik lagi ke rumah ketika subuh, itu pun cuma mau numpang sarapan aja.

Sedari tadi, ayah terus melirik ke arah gue, membuat risih dan hilang nafsu makan. Gue tau arti lirikan itu, apalagi ketika ayah mulai membuka suara setelah piring-piring kami habis. Oh tidak, piring gue masih tersisa banyak.

"Jani, ada yang ingin Ayah bicarakan."

Gue diam.

"Kamu akan Ayah jodohkan dengan anak dari teman Ayah."

Gue masih diam.

"Namanya Ramon."

Prang!

Gue membanting sendok hingga menimbulkan suara nyaring. Ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Kelakuan ayah yang tidak tahu malu itu membuat gue sangat kesal dan muak. Ayah mengabaikan peringatan gue semalam, tetap melanjutkan rencana perjodohan ini. Anjani yang pada dasarnya anak penurut pun malah mengangguk, tidak keberatan dengan ini. Gue mengepalkan tangan.

"Nggak ada perjodohan, Ayah," desis gue, menatap tajam pada mata ayah.

"Ramon setuju, Anjani juga sudah setuju, lalu apalagi masalahnya?" Ayah dengan entengnya bertanya.

"Masalahnya Ramon pacar, Ae." Kalau bukan karena menghalangi keinginan ayah, gue ogah banget ngotot mempertahankan Ramon. Buat apa coba? Masih banyak cowok lain di luar sana. Gue melakukan ini semata-mata untuk memblok semua tindakan ayah. Mari tunjukkan tidak semua hal bisa terjadi sejalan dengan apa yang ayah mau. Gue akan menjadi hambatan bagi ayah.

"Sadar dong, Aeera, Ramon nggak cocok sama kamu. Aku memang belum pernah ketemu sama Ramon, tapi pilihan ayah selalu yang terbaik. Dan yang terbaik hanya cocok untuk aku," kata Anjani menatap gue remeh.

"Kamu benar, Jani. Aeera tidak cocok dengan Ramon. Dia cuma perempuan kasar, bahkan mungkin nggak ada laki-laki yang mau sama dia. Entah kenapa Ramon bisa pacaran dengan dia, pasti itu cuma kesalahan." Ayah menanggapi kalimat Jani dengan sama pedasnya. Gue yakin kalau ada bunda di sini, maka dia juga akan ikut meremukkan hati gue. Untungnya bunda masih di butik setelah kemarin menginap, mempersiapkan fashion show.

"Memangnya kenapa kalau Ae perempuan kasar. Setidaknya ilmu bela diri Ae berguna."

"Berguna? Berguna buat apa? Lebih baik kamu mengurus otak dangkalmu itu. Mau jadi apa kamu dengan kebodohanmu itu?"

Rasanya seperti baru saja digampar bolak-balik menggunakan sarung tinju saat mendengar ucapan ayah. "Ae mau jadi tentara, memangnya kenapa? Salah?"

Ayah dan Anjani tertawa terpingkal-pingkal, mengusap sudut mata yang berair. "Aduh, mimpi macam apa itu? Tentara? Yang benar saja!"

"Aeera itu memang udah lupa kalau dia perempuan, Yah, jadi begitulah."

Gue bangkit berdiri, menegarkan hati untuk tidak meneteskan air mata. Tanpa permisi gue segera berangkat sekolah, mengendarai motor ninja dengan kecepatan tinggi, membiarkan emosi menguasai tubuh. Ucapan ayah dan Anjani sedikit-banyak menampar diri gue. Gue nggak begitu peduli jika banyak laki-laki yang nggak mau sama gue karena sikap gue. Suatu hari nanti, di antara milyaran manusia pasti ada satu lelaki yang mencintai gue dengan tulus, menerima segala kekurangan dan kelebihan.

You Are Brave [END]Where stories live. Discover now