05 - Dare

193 36 3
                                    

Happy reading^^

•••

|Alreza|



Ada idiom bahasa Inggris yang berbunyi time flies. It's mean time passes quickly. Sepertinya ungkapan itu cocok untuk gue. Rasanya baru kemarin ketika gue dikeroyok, disuruh nego dengan Bu Lea di awal semester. Sekarang bahkan orang-orang sibuk membicarakan ulangan akhir semester yang akan diadakan seminggu lagi. Gue sebagai ketua kelas sering ditanya sama anak-anak, ada kisi-kisi nggak? Nggak ada.

Lalu mereka menyuruh gue bertanya pada guru yang bersangkutan. Merepotkan! Ingatkan gue untuk segera lengser di semester empat nanti.

"Ja, pulang nanti kita main ke rumah lo, ya," ucap Kris setelah menyeruput kuah baksonya. Gue menatapnya sekilas lantas mengangguk, tidak keberatan Kris dan Gibran main ke rumah gue.

"Re, gue tiba-tiba penasaran, nih. Random question ya, lo sehari bisa habis berapa permen, sih?" Gibran bertanya pada Rere yang mengemut permen sambil memainkan tangkainya.

Meja kantin yang gue, Kris dan Gibran tempati memang bergabung dengan Sak, Aeera, Naswa dan Rere. Hal yang cukup langka karena mereka kalau sudah digabung nggak bisa diam. Ya, mereka, gue tidak termasuk.

"Kepo lo," sahut Rere sinis.

Beberapa saat kemudian, mereka mulai heboh bercakap-cakap. Setidaknya bukan hanya meja kami yang heboh. Daripada ikutan menimpali obrolan, gue lebih tertarik melirik dan mengamati Aeera diam-diam. Bagaimana cewek itu menuangkan sambal ke dalam kuah bening baksonya, tanpa kecap. Lalu menggulung mie, mencomot sayuran dan memakannya dalam suapan besar. Dia sengaja memisahkan bakso untuk dimakan terakhir.

Gue juga mengamati ekspresi sebal Aeera ketika bakso yang dia sisihkan untuk dinikmati di akhir malah dicomot oleh tangan jail Syakira. Aeera merajuk, mengadu pada Naswa kemudian tersenyum puas ketika Naswa merelakan baksonya untuk cewek itu. Astaga, pertemanan yang menyenangkan.

Tubuh gue menegang ketika Aeera menoleh dan melempar senyum dengan bibirnya yang sedikit memerah kepedasan. Detik itu juga gue langsung melirik ke arah lain, jantung gue berdebar cuma karena disenyumin. Ya ampun.

"Ja, pelajaran matematika belum ada kisi-kisi?" Dia bertanya.

"Belum."

"Tapi lo udah nanya belum?

"Belum."

"Ya elah, si Reja, sekali-sekali kalau diajak ngobrol yang panjang kek ngomongnya. Ini malah pendek-pendek, emang suara lo semahal, apa?!" Ini bukan pertama kalinya Gibran memprotes. Harusnya dia cukup hafal dengan respon gue.

"Lagian ya, kenapa lo belum minta kisi-kisi? Kita tuh cuma minta kisi-kisi loh, bukan bocoran soal, apalagi minta makanan," timpal Aeera yang kemudian manyun, membuat gue menahan napas dan lagi-lagi mengalihkan tatap ke arah lain.

"Nanti gue kabari." Kalimat gue bertepatan dengan bunyi bel masuk berbunyi.

Sisa pembelajaran berjalan dengan baik, anak-anak kelas nggak banyak bertingkah. Sedikit banyak membuat gue lega sebab tidak perlu repot-repot mengamankan situasi. Di kelas memang ada seksi keamanan, tapi bagaimana bisa diandalkan ketika orang tersebut termasuk salah satu yang paling berisik. Ketenangan ini masih berlanjut sampai jam pulang tiba.

Kris dan Gibran pulang terlebih dulu, sedangkan gue mampir ke ruang guru untuk menemui Bu Lea. Belum sampai ruang guru, gue berpapasan dengan Bu Lea di koridor. Begitu urusan dengan Bu Lea selesai, gue segera menyusul Kris dan Gibran ke rumah.

Di halaman rumah terlihat dua motor besar berwarna merah dan hijau. Gue membuka pintu utama dan seketika disambut oleh pedang yang mengacung tepat di depan hidung. Melirik ke bawah, seorang bocah laki-laki berumur lima tahun berdiri sambil menyengir lebar. Di lehernya terikat sebuah kain yang menjuntai seperti jubah, lalu di kepalanya ada panci punya mama. Adik gue kalau main suka mengambil seenaknya barang-barang di rumah, nggak kapok dimarahin mama mungkin.

You Are Brave [END]Where stories live. Discover now