Bagian Dua Puluh Sembilan

17.7K 2.4K 150
                                    

K A L E

Hari ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya, hanya ada aku dan tumpukan kertas di atas mejaku. Berusaha menenggelamkan diriku sendiri kedalam pekerjaan yang semakin hari seperti tidak ada habisnya. Menjadikan kesibukan sebagai tempat pelarian dari kekosongan yang seakan mencekik leherku.

Namun sekeras apapun aku berusaha mengenyahkan gadis itu dari dalam kepalaku, bayangannya malah semakin nyata. Ingatan saat ia dengan tangan gemetar mengembalikan cincin yang mengikat kami, mengucapkan selamat tinggal dengan sendu yang terpatri begitu nyata di mata sayunya, lalu berhasil memporak-porandakanku dari dalam. Aku tidak tau apa yang benar-benar kurasakan saat ini, hanya ada hampa dan kosong di dalam diriku.

Aku tidak pernah tau bahwa pengaruhnya sebegitu hebat untuk diriku, hingga kehilangannya menjadi kemalangan yang begitu tragis, yang jika disuruh membayangkannya saja aku tidak ingin.

Aku tidak pernah ingin menyakitinya, but i have to.

Jika orang-orang berkata bahwa kenangan yang seseorang tinggalkan adalah hal terakhir yang akan terus membersamai sepanjang hidup kita, aku tidak setuju. Saat Ayna pergi, ia tak meninggalkan apapun untukku. Dia membawa semua kenangan itu bersamanya, termasuk hati dan seluruh hidupku, menyisakan seonggok raga kosong tanpa jiwa.

Sampai detik ini aku tak pernah benar-benar tau perasaan apa yang paling mendominasiku saat bersamanya. Rasa suka kah? Bersalah? Takut? Atau bahkan aku telah diam-diam jatuh cinta padanya.

Aku tidak tau, atau sebenarnya aku tau namun selalu terkurung di dalam idealisme kosong yang masih berusaha kupegang teguh. Aku sadar bahwa aku adalah bajingan paling brengsek yang dengan teganya menghancurkan hati malaikat yang bersemayam dalam tubuhnya. Tapi jika boleh sekali saja ku katakan bahwa itu juga menghancurkanku, maka akan ku katakan bahwa aku hancur.

Wanda masih saja mengoceh di hadapanku. Meski aku tak benar-benar mendengarkan apa saja yang sudah dia katakan sejak tadi. Selain aku masih mengambang di dalam lamunanku sendiri, kertas-kertas di hadapanku sudah menuntut untuk segera kuselesaikan sore ini juga. Hingga tak ada lagi tempat kosong di dalam kepalaku untuk mencerna kata-katanya.

"Sayang! Kamu dengar nggak sih aku ngomong apa."

Direbutnya pena hitam itu dari tanganku. Membuatku mau tak mau menoleh padanya.

"Apa sih Wan." Ucapku kesal.

"Dari tadi aku ngomong pasti kamu nggak dengar kan. Aku bilang abis ini kita mau dinner dimana."

"Aku nggak bisa. Kamu makan sendiri aja." Kurebut lagi pena itu darinya.

Raut wajahnya berubah tak suka. "Nggak mau. Aku mau makan malam sama kamu. Makanya sekarang kamu udahan kerjanya, kita pulang." Kini tangannya malah menutup map yang sedang ku kerjakan.

Membuatku mengerang sebal, namun tertahan. "Udah aku bilang aku nggak bisa. Kamu nggak lihat kerjaan aku masih banyak."

Di tengah perdebatan sengit kami, ponselku yang berada di atas meja bergetar hingga membuat layarnya menyala. Perhatianku lantas tertuju padanya, namun tanganku kalah cepat dari Wanda yang kini bahkan sudah menyalakan ponselku, memperhatikan foto seseorang yang kujadikan penghias layar ponselku.

Wajahnya menggelap. "Apa ini Mas." Kulihat bibirnya bergetar.

"Kayak yang kamu lihat." Jawabku acuh.

"Aku ini pacar kamu! Aku ingatkan kalau kamu lupa." Ia berteriak murka. Namun sayang aku tak perduli.

"Bisa nggak kamu berhenti berteriak dan keluar dari ruanganku sekarang juga. Aku harus menyiapkan pekerjaanku."

Quarter Life CriShit [TAMAT]Where stories live. Discover now