Bagian Empat Puluh Satu

29.8K 2.7K 161
                                    

Playlist : Ardhito Pramono - Sudah ost. Story of Kale

Menurutku lagu ini menggambarkan Ayna dan Kale banget hehe. Better kamu baca chapter ini sambil dengerin lagu 'sudah'.

I hope you enjoy this final chapter

guys...💜💜

- A Y N A -

Debaran jantungku semakin menjadi-jadi saat kakiku sudah berdiri tepat di depan pintu ruang rawat mas Kale, bermenit-menit memandangi handle-nya, berulangkali berusaha meraihnya namun gagal lagi. Bermacam-macam pemikiran buruk berseliweran di dalam kepalaku, membuatnya terasa penuh, panas dan kemungkinan besar akan meledak sebentar lagi.

Bagaimana jika mas Kale menolak kehadiranku? Bagaimana jika mas Kale enggan menatap wajahku? Dan bagaimana caraku menghadapinya nanti?

Tapi tunggu dulu, waktu itu kan kami berpisah baik-baik. Jadi seharusnya hal-hal yang kukhawatirkan itu tidak selayaknya terjadi bukan?

Kuraup udara banyak-banyak lalu menahannya di dada saat tanganku mulai bergerak membuka handle pintu. Pintu terbuka, menampakkan ruangan bernuansa putih yang terasa begitu terang. Perlahan kulangkahkan kakiku ke dalam, mengamati seluruh isi ruangan VIP yang cukup luas ini, dan mendapati ia tengah berbaring di atas ranjang yang juga cukup besar jika dibandingkan dengan ranjang pasien biasa. Ya tidak heran sih.

Ada satu sofa panjang di dekat jendela bertirai putih, dua nakas, satu lemari es berukuran tidak terlalu besar dan vas kaca berisi bunga lily putih di atas meja.

Perlahan namun pasti aku sudah berdiri di sisi ranjangnya setelah meletakkan bouquet bunga hydrangea yang tadi kubawakan untuknya. Di perjalanan tadi aku berpikir ingin membawakan parcel tropical fruit kesukaannya, tapi kemudian teringat bahwa kemungkinan mas Kale masih belum bisa memakan buah-buah itu, aku tidak tau karena maklum saja, di keluargaku tidak pernah ada yang punya riwayat GERD jadi aku tidak paham betul apa yang boleh dan tidak untuk dikonsumsi.

Lalu aku juga berpikir ingin membawakan kue favoritnya atau bouquet bunga saja yang lebih aman karena kalau harus membawakannya emas batangan, jelas dia sudah punya banyak. Jadi setelah isi kepalaku mengalami perdebatan yang cukup sengit, akhirnya aku memutuskan untuk membawakan bouquet bunga saja. Meski harus berusaha keras untuk pura-pura tidak melihat tatapan Sani yang jelas sedang menggodaku.

Tanpa sadar bibirku tersenyum tipis saat memandangi wajah tidurnya, five o'clock shadows yang membingkai rahang pria ini membuatnya terlihat begitu tegas. Kulit wajahnya terlihat sedikit pucat, begitupun bibirnya. Bibir yang saat itu terasa begitu lembut membelai bibirku, aku bahkan masih bisa merasakan efek ciumannya sampai saat ini. Passionate, intimate, dan praktis membuatku hampir kehilangan akal. Okay, forget it.

Tulang hidungnya yang lurus seperti perosotan sedikit berkilat karena tertimpa cahaya lampu, bulu-bulu matanya yang panjang dan lentik itu selalu berhasil membuatku iri, sangat menggemaskan.

Aku duduk ditepi ranjangnya, masih asik memandangi setiap detil kesempurnaan yang Tuhan beri di wajah pria bertubuh patung dewa Yunani ini. This is gonna sound ridicolous, tapi aku yakin bahwa Tuhan pasti sedang sangat bahagia saat menciptakan wajah rupawannya.

Dan ternyata aku begitu merindukannya, sampai-sampai tanpa sadar setetes air bening mulai mengalir dari pelupuk mataku—ini tidak terencana dan benar-benar diluar konsep, seharusnya tidak begini. Seharusnya aku tidak boleh lemah dihadapannya.

"Hey Iron Man, pahlawan mana boleh sakit kayak gini." Kusentuh pelan punggung tangannya yang tertancap jarum infus. "Come on, wake up." Kuusap garis rahangnya yang ditumbuhi rambut-rambut maskulin.

Quarter Life CriShit [TAMAT]Where stories live. Discover now