Bagian Tiga Puluh Sembilan

19.3K 2.2K 59
                                    

A Y N A •

Langkah kakiku terhenti saat kulihat pria berkacamata hitam yang sedang berdiri beberapa meter dariku itu melambaikan tangannya tinggi-tinggi, senyum pepsodent terbingkai di wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut yang terlihat lebih rimbun dari terakhir kali aku melihatnya. Sebelah alisku terangkat dan kubalas lambaian tangannya. Disekitar kami banyak orang yang juga sedang berlalu-lalang, menyeret koper kesana-kemari sepertiku.

Kuteruskan langkah sampai aku bisa melihat dengan jelas motif tribal di lengan kirinya, tato yang sudah ada di sana sejak dua tahun yang lalu.

"Ciào, my peanut butter!"
Senyumku mengembang mendengar sapaannya.

"Ciào, Mas."

"I miss you, gimana Irlandia?"
Tanyanya sambil masih memelukku erat-erat, seperti dua Teletubbies yang sedang tersesat di bandara.

Susah payah aku menjawab, "masih dingin seperti yang Mas Anta tau." 

Akhirnya ia melepaskanku, dahinya mengernyit.

"Kenapa?" Tanyaku penasaran.

"Kamu belum jawab pertanyaan Mas."

"Pertanyaan yang?"

"Nevermind. Jadi, liburannya menyenangkan?"

Bahuku mengedik. "Perubahan cuacanya luar biasa, typical Irish weather. Tapi Irlandia juga luar biasa dari banyak sisi. Menyenangkan, tentu saja. Oh iya, kenapa Mas Anta yang jemput aku? Dikta mana?"

"Tadi sih bilangnya ketemu siapa gitu di cafe. Kita susul ke sana aja gimana? Kamu udah mau pulang banget nggak?"

Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan ajakan mas Anta. Perutku juga sepertinya ingin diisi sesuatu yang hangat. "Boleh deh, yuk."

"Biar Mas yang bawa koper kamu."

Karena aku sama sekali tidak berminat untuk menolak tawarannya, akhirnya kuserahkan saja koperku pada mas Anta. Kemudian kami sama-sama berjalan menuju salah satu cafe yang masih terletak di dalam bandara.

"Hello, twin!" Suara Dikta langsung saja terdengar begitu melihat aku dan mas Anta melewati pintu kaca. Kulihat ia  duduk sendirian di tengah ruangan sambil memainkan ponsel di tangan kanan.

"Curang banget nyuruh Mas Anta yang nungguin aku, sementara dia enak-enakan ngopi sendiri di cafe." Kudaratkan dudukku di kursi sebelah Dikta setelah puas berpeluk-peluk ria.

"Ketemu temen SMA tadi gue, nggak sengaja. Ya jadinya kongkow sebentar disini. Baru aja dia cabut waktu kalian masuk kesini."

"Halah, bilang aja kamu nggak kangen sama aku kan. Dimana-mana tuh kembaran nggak bisa jauh satu sama lain, bahkan ada yang suka jadi sakit. Tapi kayaknya sebulan aku tinggal, kamu seneng-seneng aja ya. Nggak ada banget ikatan batinnya."

Dikta mencubit kedua pipiku seenaknya. "Ngomel mulu lo kayak ibu-ibu beranak sepuluh."

Aku hanya mencebikkan bibir sambil mengusap-usap kedua pipiku.

"Ayna mau minum apa? Atau mau makan?"
Mas Anta yang sejak tadi hanya terkekeh melihatku dan Dikta akhirnya bersuara.

"Hmm, pancake boleh juga." Seketika terbayang kelembutan pancake yang akan terasa lumer dimulut, fluffy, manis—membuat air liurku hampir menetes.

"Baru sebulan aja di Dublin gaya banget lo makan pancake, biasanya juga makan nasi kucing." Dikta mencibir.

"Ya emangnya disini ada jual nasi kucing? Enggak kan. Udah ah sewot banget sih."

Quarter Life CriShit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang